JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi perbakan, keuangan dan pembangunan, Dr Anis Byarwatii mengatakan, masyarakat perlu memiliki pengetahuan yang baik tentang keuangan dan memiliki keterampilan yang baik juga dalam pengelolaannya.
Itu dikatakan politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di bidang ekonomi syariah tersebut pada acara Penyuluhan Jasa Keuangan dengan tema Peran OJK Dalam Meningkatkan Literasi dan Inklusi Keuangan Masyarakat.
Penyuluhan ini diselenggarakan dalam rangka mengisi masa reses bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Aula Kantor Kecamatan Cakung, Jakarta Timur pertengahan pekan ini.
Pada kesempatan itu, lulusan Doktor Universitas Airlangga Surabaya ini menjelaskan, masalah keuangan merupakan persoalan yang sangat dekat dengan setiap individu. Semua orang beraktivitas untuk mendapatkan uang, mengatur dan menetapkan alokasi peruntukannya, serta menentukan penggunaannya.
Bahkan untuk memenuhi kebutuhannya, setiap orang dapat mengakses layanan Lembaga keuangan namun tidak semua orang mengetahui dan memahami caranya. Gambaran sederhana diatas merupakan makna dari literasi dan inklusi.
Menurut data OJK yang dirilis November 2019, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia mencapai 38,03% dan tingkat inklusinya 76,19 persen. Itu terhitung dalam kategori masih sangat rendah terutama untuk tingkat literasi.
Pemerintah memiliki Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan antar individu dan antar daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Kepala sub bagian hubungan kelembagaan OJK, Ferddy Rahmadi yang juga sebagai nara sumber selain menjelaskan tentang OJK, juga menerangkan pengertian dan indeks literasi dan inklusi keuangan, serta peratutan literasi dan inklusi keuangan yang tertuang dalam Peraturan OJK No: 76/2016 (POJK.07/2016).
Perencanaan keuangan menganjurkan, setiap orang mengalokasikan 40 persen penghasilannya untuk biaya rumah tangga, 30 persen untuk utang produktif, 20 persen untuk tabungan, investasi dan proteksi serta 10 persen untuk biaya social seperti memberi sumbangan, sedekah dan lain sebagainya.
Upaya meningkatkan inklusi, dilakukan OJK dengan membuat program ‘SimPel’ yaitu tabungan untuk siswa yang diterbitkan bank Indonesia dengan persyaratan mudah, sederhana dan fitur menarik, dalam rangka edukasi dan inklusi keuangan untuk mendorong budaya menabung sejak dini.
Selain itu, terdapat program ‘SiMuda’, yaitu tabungan bagi mahasiswa dan pemuda kelompok usia 18 hingga 30 tahun dengan dilengkapi fitur asuransi dan produk investasi yang ditawarkan perbankan di Indonesia.
Acara ditutup dengan sesi tanya jawab, peserta mengeluhkan finansial technologi yang menggunakan data konsumen secara terbuka untuk menawarkan pinjaman. Hal ini perlu mendapatkan pengawasan dari OJK agar masyarakat tidak dirugikan. Pertanyaan lain juga tentang prosedur pelaporan kepada OJK jika masyarakat mendapatkan masalah dengan Lembaga keuangan. (akhir)