JAKARTA, Beritalima.com– Doktor Ekonomi Syariah lulusan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya di Komisi XI DPR RI membidangi Keuangan, Perbankan dan Pembangunan, Dr Hj Anis Byarwati mengingatkan Bank Indonesia (BI), intervensi yang dilakukan lembaga itu tidak cukup untuk menyelamatkan kehancuran ekonomi Indonesia dari dampak wabah virus Corona (Covid-19).
Menutut wakil rakyat dari Dapil I Provinsi DKI Jakarta itu, masih perlu langkah-langkah lain dalam menyelamatkan di semua sektor perekonomian nasional yang porak poranda akibat hantaman virus mematikan tersebut. “Dalam rapat dengan Gubernur BI pertengahan pekan ini, hal itu juga saya ingatkan,” kata Anis dalam keterangannya kepada Beritalima.com, Sabtu (11/4) siang.
Dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi XI DPR RI dengan BI membahas ‘Up Date Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Perbankan Nasional di tengah wabah Covid-19 yang digelar secara virtual, perempuan berhijak kelahiran Surabaya ini juga menyampaikan gelisahan terkait banyak warga bingung mengakses program kebijakan dan fasilitas yang direncanakan atau disampaikan Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) terkait penanganan situasi wabah virus Corona (Covid-19). “Yang terjadi di lapangan nyatanya tidak semulus apa yang kita bicarakan di forum ini,” kata Anis.
Dia mengaku, banyak menerima keluhan pengemudi ojek online, ibu rumah tangga dan masyarakat kelas bawah mengenai kebingungan dan kesulitan mereka mengakses kebijakan pemerintah. “Jangan sampai terjadi krisis social dan kriminalitas meningkat karena bantuan yang mereka harapkan tidak turun juga,” kata dia mengingatkan.
Terkait tugas mitigasi Covid-19 dari Pemerintah kepada BI, kata Anis, pada prinsipnya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Ri mendukung langkah-langkah pemerintah untuk memperbaiki ekonomi Indonesia. Namun, dalam dukungan itu, Anis memberikan catatan kritisnya.
Yang perlu dipikirkan bersama, kata Anis, kewenangan yang diberikan kepada BI melakukan injeksi likuiditas ke perbankan hampir Rp300 triliun sehingga BI bisa membiayai defisit fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dari pasar primer, serta menyediakan likuiditas ke perbankan melalui mekanisme surat hutang negara, obligasi dan perbankan.
Munculnya aturan ini terutama akses kepada koorporasi atau swasta, jelas bakal memaksa BI menyediakan likuiditas besar-besaran untuk penyelamatan koorporasi saat krisis. Walau Gubernur BI mengatakan, ini bukan bailout, langkah ini sangat mengkhawatirkan.
“Keterbatasan dana dalam menangani wabah Covid-19 di Indonesia, pemerintah akhirnya menerbitkan obligasi Rp 450 triliun untuk menstimulus ekonomi. BI menjadi pihak yang akan membeli obligasi bernilai Rp450 triliun itu. “Ini kembali membuka trauma krisis 1997/98.
Anis mengingatkan Gubernur BI, saat terjadi kelebihan likuiditas yang tak diimbang peningkatan daya beli masyarakat, hal ini bakal menimbulkan lonjakan inflasi yang tidak terkendali. Dalam situasi seperti ini, stimulus fiskal yang telah digulirkan tidak bisa mendorong daya beli masyarakat.
Anis menutup catatannya dengan menegaskan kembali, berhasil tidaknya intervensi yang dilakukan BI, bukan satu satunya jalan penyelamatan ekonomi. “Efektifitas dan efisiensi ekonomi sangat tergantung dengan kebijakan dari sektor ekonomi yang lain, internal dan eksternal. Jadi kebijakan moneter bukan segala-galanya,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)