JAKARTA, Beritalima.com– Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (PN) parrai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Muhammad Anis Matta mengingatkan semua pihak untuk tidak membiarkan kekuatan asing menjadikan negeri ini sebagai medan tempur baru dampak konflik geopolitik global dan kawasan yang terjadi di Afghanistan.
Hal itu disampaikan Anis dalam diskusi Gelora Talks bertajuk ‘Tantangan Taliban, Mampukah Membentuk Pemerintahan yang Efektif? yang digelar secara virtual dari Media Center Gelora Indonesia, Jalan Taman Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (1/9) petang.
Diskusi kali ini menghadirkan narasumber Kepala BAIS, TNI Laksamana Madya TNI (Pur) Soleman B Ponto, Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan H Purwanto dan Pengamat Terorisme, Haris Abu Ulya.
Pada kesempatan tersebut, Anis mengatakan, terlalu banyak variabel di luar kendali Indonesia, yang akan timbul dari konflik di Afghanistan itu, sebagai akibat dari krisis global berlarut yang terjadi saat ini.
“Ini sebagai salah satu interest nasional yang tinggi, supaya kita tidak terseret lagi menjadi collateral damage (kerusakan tambahan). Orang yang konflik, kita yang mati. Hal itu perlu kita hindari, karena kita punya pengalaman, sehingga sebagai bangsa memang harus fokus,” ujar Anis.
Pengalaman ‘colateral damage’ yang dimaksud Anis adalah saat terjadi perang pasifik (Perang Dunia I), Indonesia menjadi jajahan Jepang. Ketika perang dingin muncul G30S PKI, dan saat Uni Soviet runtuh di tanah air terjadi reformasi 1998.
“Kita tidak tahu apakah nanti Afghanistan menjadi battlefield, satu model konflik baru yang semuanya bisa terbuka. Memang yang terbaik buat kita saat ini melihat apa yang akan terjadi ke depan. Kita konsen kepentingan nasional sebagai bangsa supaya tidak terseret lagi dalam collateral damage yang dibuat orang lain,” kata dia.
Menurut Wakil Ketua DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Kokesra) periode kedua Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, pembentukan pemerintahan Taliban di Afghanistan saat ini, prinsipnya menghadapi tiga tantangan berat, yakni membentuk pemerintahan efektif, reintegrasi Afghanistan dan pembangunan ekonomi.
Sebab, kata politisi senior ini, keputusan Amerika Serikat meninggalkan Afghanistan menyisakan banyak serpihan, baik di internal Afghanistan, maupun di kawasan Asia Tengah. Itu termasuk hubungan dengan China, India, Pakistan dan dunia Islam umumnya.
Dikatakan, tantangan pertama, akan berhubungan dengan proses pembangunan negara, mulai dari perpolitikan hingga konsolidasi elit pemerintahan. Lalu terkait pergeseran paradigma kesukuan, serta hal-hal terkait penyusunan dasar negara, konstitusi dan pembentukan institusi pemerintahan.
Tantangan kedua Afghanistan, dalam hal ini di bawah Taliban, tentu saja soal reintegrasi ke sistem internasional. “Saya kira ini adalah poin krusial karena akan berhubungan dengan tantangan ketiga, yakni pembangunan ekonomi,” jelas Anis.
Taliban akan menghadapi persoalan ekonomi besar di Afghanistan seperti 54 persen warganya diliputi kemiskinan dan 23 persen warga menganggur dan Produk Domestik Bruto (PDB) Afghanistan berada di kisaran 20 miliar dollar AS sehingga negara ini membutuhkan investasi dari komunitas internasional.
Karena itu, masa depan Afghanistan akan ditentukan oleh banyak faktor geopolitik global dan kawasan. Apalagi dunia internasional kerap memandang Taliban sebagai gerakan teroris, bukan gerakan perlawanan di Afghanistan.
Apakah masyarakat internasional dapat menerima Taliban, yang tadi banyak menyebutnya dengan gerakan teroris? Dan respon masyarakat internasional saat ini masih berbeda-beda. Banyak faktor-faktor lain yang bisa berpengaruh untuk membentuk pemerintahan yang efektif, yang kemungkinan sulit terealisasi.
“Misalnya, kita melihat negara-negara demokrasi yang gagal di kawasan Timur Tengah, seperti Libanon, Irak, Mesir, Libya hingga Suriah,” kata pria kelahiran Waledo, Bone, Sulawesi Selatan, Desember 1968 itu.
Sementara itu, Soleman Ponto mengingatkan Indonesia harus berhati-hati sebelum mengambil langkah menyangkut Afghanistan. Jangan sampai persahabatan Indonesia dengan negara tetangga rusak karena dianggap berlebihan dalam mengambil sikap. Indonesia harus melihat dulu apa keuntungan dan kepentingan bersama yang bisa diperoleh.
Sebab banyak negara yang memiliki kepentingan terkait Afghanistan, dari India, Pakistan, Tajikistan, Turki, Iran, Arab Saudi, hingga China, AS dan Eropa. “Kalau mau hubungan, harus lihat apa kepentingan Indonesia di sana dan apa pula keuntungannya. Jangan sampai kita masuk, malah merusak hubungan dengan yang ada di sana,” kata Soleman.
Dampak lain, munculnya kelompok di Indonesia yang berusaha mengambil manfaat dengan ‘iseng-iseng berhadiah’ mengkampanyekan kekalahan AS di Afghanistan di tanah air.
“Jadi kita sebaiknya menunggu dan melihat kondisi dulu. Sehingga jangan sampai ada yang salah pengertian, para sahabat kita justru marah hanya karena kita terlalu cepat ambil sikap soal Afghanistan,” kata dia.
Namun, menurut Wawan, Deputi-VII Bidang Komunikasi dan Informasi yang juga juru bicara BIN ini, Indonesia berkepentingan Afghanistan yang damai, sehingga terjalin hubungan dan stabilitas. Taliban saat ini, butuh pengakuan internasional untuk mewujudkan janji seperti tercantum dalam perjanjian Doha, Qatar dengan AS beberapa waktu lalu.
Dengan mendapatkan kepercayaan dunia internasional, Taliban bisa memulai penataan Afghanistan. Tanpa hal itu, Taliban tinggal menunggu waktu akan jatuh dan Afghanistan terlibat perang saudara.
“Beri kesempatan Taliban menujukkan upayanya meski tidak sepenuhnya bisa menguasai milisi yang ada. Dalam masa transisi seperti sekarang, tidak mudah mengatasi kerusakan dalam waktu sekejap. “Tapi day per day, minggu per minggu, kita tetap coba bantu dengan upaya diplomasi. Mudah-mudahan dengan kerjasama internasional, stabilitas akan tercipta di Afghanistan,” kata Wawan.
Haris Abu Ulya dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) menganilisis, ideologi Taliban tidak se-ekstrem Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Visi Taliban sebagai Sunni tidak berorientasi membangun kekhilafahan seperti ISIS, melainkan hanya membangun pemerintahan Imarah yang berbasis di Afghanistan saja.
“Sampai detik ini Taliban tidak pernah men-declair akan mendirikan negara khilafah, mereka hanya menyebut pemerintahan yang Imarah, semacam beberapa menteri utama. Taliban hari tampil ini berbeda, cara berpikirnya berbeda,” kata Haris.
“Ini tentu saja membuka celah untuk mulai membangun kepercayaan, tapi itu semua masih menunggu, wait and see. Apakah ini jadi negara dan bisa bergaul, serta tidak menjadi home base bagi kelompok-kelompok yang bisa membuat persoalan di negara lain,” demikian Haris Abu Ulya. (akhir)