JAKARTA Beritalima.com– Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Muhammad Anis Matta mengatakan, kekerasan terhadap para pemuka agama yang kembali marak seperti peristiwa yang direncanakan bisa memperburuk suasana psikologis masyarakat (public mood).
Kasus kekerasan terhadap ulama yang terus berulang bisa menimbulkan tafsir konspirasi dan dengan mudah dijadikan alat provokasi. Akibatnya, situasi pandemi Covid-19 yang berlarut, polarisasi pasca pilpres yang tak kunjung usai, ditambah kasus kekerasan terhadap ulama dan perusakan rumah ibadah membuat masyarakat mudah curiga, melemah kepercayaan kepada institusi keamanan dan penegak hukum.
Ini akan memunculkan amuk atau pengadilan jalanan (street justice) oleh masyarakat, karena penjelasan dari Polri sebagai institusi negara yang berwenang dinilai belum memadai. “Sekarang saja mulai muncul potensi street justice, seperti imbauan beberapa Ormas Islam agar kadernya mengawal dan menjaga para ulama,” kata Anis dalam Gelora Talks bertajuk ‘Kekerasan terhadap Pemuka Agama Terus Berulang, Dimanakah Negara? di Jakarta, pekan lalu.
Diskusi juga dihadiri Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI KH Muhyiddin Junaidi, Kabagpenum Divhumas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, serta Kriminolog & Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel.
Menurut Anis, ulama dan pemuka agama selama ini menjadi kelompok paling rapuh secara keamanan dan gampang sekali menjadi korban dan sasaran. “Sampai sekarang kita tidak mendapatkan penjelasan memadai tentang mengapa? Peristwa yang tampak seperti direncanakan itu, selalu dijelaskan sebagai peristiwa random,” kata dia.
Disinilah, kata Anis, peran sentral Polri diperlukan dalam upaya meredam keresahan warga dalam masalah itu. Dengan penjelasan yang memadai dapat memberikan rasa aman dan keadilan masyarakat. Yang diperlukan adalah proses penegakan hukum yang transparan dan tuntas.
“Penjelasan obyektif akan mampu meredakan kecurigaan, kemarahan dan ketidakpercayaan di masyarakat. Kita semua berkepentingan menjaga kepercayaan publik kepada institusi kepolisian dan mencegah orang untuk melakukan tindakan yang tidak legal,” kata dia
Mantan Wakil Ketua DPR RI 2009/2014 ini berharap Polri, MUI, kiminolog dan MUI duduk bersama mencari motif terhadap kekerasan para pemuka agama, meski pada akhirnya ditemukan fakta-fakta aneh seperti kasus di Tangerang yang bermotif dendam dan perselingkuhan.
“Yang lebih penting adalah mencegah nyawa tidak hilang, meski ketika bicara motif akan menemukan fakta-fakta aneh. Kita harus bersama-sama mencegah agar situasi ini tidak menimbulkan amuk dan hukum jalanan. Kepolisian, MUI dan akademisi perlu mengkaji lebih mendalam bagaimana mencegah kasus serupa tidak terulang kembali.”
Senada dengan Anis, Muhyiddin Junaidi mengatakan, respons pemerintah terhadap maraknya kekerasan dan pembunuhan terhadap ulama kurang memuaskan. “Hampir semua pelaku kekerasan pada ulama dinyatakan Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) dan berhenti hanya sampai pada tahap pemeriksaan polisi,” kata Muhyiddin.
Kondisi seperti ini yang membuat ketidakpuasan masyarakat, sehingga penafsiran masyarakat beragam, termasuk dikait-kaitkan dengan PKI.
“Apalagi kekerasan yang menimpa ulama itu terjadi di bulan September yang secara historis memang memiliki keterkaitan antara tragedi para ulama yang diakibatkan oleh kekejaman PKI,” kata dia.
Kriminolog dan Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, tidak semua ODGJ tak bisa dipidanakan. Mengacu pasal 44 ayat 2 KUHP, ODGJ sebenarnya bisa juga diproses hingga pengadilan. “Nanti bisa saja hakim memutuskan bahwa ODGJ ini harus disembuhkan alias di bawa ke Rumah Sakit Jiwa. Jadi tidak hanya berhenti prosesnya di kepolisian.”
Menurut Reza, selama Pasal 44 ayat 2 tersebut tidak direalisasikan. “Jadi kita tidak bisa menyalahkan masyarakat bila muncul sikap skeptis dan keresahan di mereka,” kata daia.
Kombes Ahmad Ramadhan menjelaskan, selama ini kejadian kekerasan yang menimpa para ulama belum terlihat adanya skenario yang mengarah kepada kekerasan ke pemuka agama. “Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan fakta-fakta yang ada, tidak ada keterkaitan antara satu kejadian dengan kejadian serupa yang lain,” kata Ramadhan.
Polri sebagai penegak hukum, lanjut Ramadhan, selalu profesional dalam setiap penanganan kasus, yakni sesuai fakta-fakta yang akurat dan valid.
“Kami berharap, masyarakat untuk tidak mengaitkan kepada sesuatu yang tidak berdasarkan fakta. Soal perasaan, tentu sama, karena mayoritas polisi juga muslim. Tapi hukum memerlukan pembuktian, bukan dengan perasaan.” (akhir)