JAKARTA, Beritalima.com– Langkah pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo menghapus dan menanggung 100 persen Pajak Penghasilan (PPh) terhadap pekerja berpenghasilan dibawah Rp 16 juta perbulan tidak manjur dalam membantu rakyat menghadapi kesulitan ekonomi.
“Kebijakan itu tidak bakal berpengaruh banyak dalam mendukung daya beli masyarakat karena harga kebutuhan pokok sudah lebih dahulu meningkat tajam akibat panic buying disebabkan sikap Jokowi terhadap pandemic Covid-19 dan momen menjelang Ramadhan 2020,” kata anggota Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati.
Wakil rakyat dari Dapil I Provinsi DKI Jakata yang membidangi perbankan, keuangan dan pembangunan tersebut dalam keterangan tertulis melalui WhatsApp (WA) kepada Beritalima.com, Sabtu (21/3) malam mengatakan,
seharusnya masalah ini terutama momen Ramadhan jauh-jauh hari sudah diprediksi Pemerintah karena ini merupakan kegiatan tahunan dimana bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam menunaikan ibadah puasa.
Seperti diberitakan, Pemerintahan Jokowi merespon kondisi ekonomi Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan fiskal satu dan II. Stimulus fiskal satu dikeluarkan sebelum Pemerintah mengumumkan kasus Covid-19 melanda Indonesia.
Stimulus yang berisikan kebijakan pada bidang pariwisata ini tidak berjalan mulus seperti apa yang diharapkan Pemerintah. Dan, malah kebijakan itu mendapat kritik dari banyak pihak karena beresiko penyebaran Covid-19 di dalam negeri dari turis mancanegara yang berusaha ditarik Pemerintah masuk untuk mengunjungi destinasi wisata Indonesia.
Stimulus fiskal tahap kedua dikeluarkan Pemerintah dengan maksud untuk menyesuaikan dengan ditemukan kasus Covid-19 di indonesia. Diantara stimulus tahap kedua ini adalah relaksasi PPh 21, 22, 25 dan restitusi PPN. Untuk relaksasi PPh 21 Pemerintah menyiapkan dana DTP Rp 8,6 triliun.
Bahkan mengenai kebijakan penghapusan PPh 21, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, Pemerintah menanggung 100 persen PPh pasal 21 pekerja dengan pendapatan sampai Rp. 200 juta per tahun. “Kebijakan ini artinya, pekerja dengan pendapatan hingga Rp 16 juta per bulan akan digratiskan pajak gaji karyawannya. Ilustrasinya, jika Karyawan yang sudah menikah dan mempunyai tanggungan dua anak dengan gaji Rp.10 juta per bulan, pajak yang ditanggung pemerintah Rp.193.750 per bulan. Pajak yang ditanggung pemerintah itu tidak signifikan terhadap daya beli karyawan. Sebab lonjakan harga kebutuhan sudah melebihi pajak yang ditanggung pemerintah.”
Para pekerja atau penerima upah di bawah Rp.10 juta per bulan, kata Anis, tidak mendapatkan dampak yang signifikan terhadap daya beli, karena nilai nominalnya sangat tidak membantu untuk mengimbangi kenaikan harga yang menggila akibat panic buying. “Dapat disimpukan langkah pemerintah menghapus PPh ini tidak manjur dalam membantu rakyat menghadapi kesulitan ekonomi,” jelas pakar Ekonomi Syariah lulusan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini.
Selain itu, untuk relaksasi PPh pasal 22 atas impor Rp8,15 triliun. Untuk PPH Pasal 25 (potongan angsuran 30 persen) Rp 4,2 triliun. Sedangkan untuk relaksasi restitusi PPN dipercepat Rp 1,97 triliun sehingga total dana yang digelontorkan untuk Stimulus Fiskal Jilid II ini Rp 22,92 triliun.
Terkait besarnya dana yang harus digelontorkan Pemerintah, Anis menilai, relaksasi PPh 21 ditanggung pemerintah tidak perlu dilakukan. Alasannya, karena tidak signifikan membantu menaikkan daya beli rakyat. “Korelasi terhadap daya beli masyarakat akibat dari relaksasi itu tak signifikan. Pada sisi lain, kebijakan ini akan menggerus penerimaan negara dari pajak 0,46 persen.
Agar tidak mengganggu defisit postur APBN 2020, lanjut Anis, jalan keluar yang perlu dilakukan Pemerintah mengurangi pengeluaran yang tidak perlu. “Misalnya, anggaran perjalanan dinas dialihkan ke pengeluaran yang langsung menyentuh kebutuhan pokok masyarakat akibat Covid-19,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)