Jakarta, beritalima.com| – Pada kurun waktu 1999 hingga 2002, terjadi kudeta konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 18 Agustus 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999–2004. Proses ini didukung bahkan disponsori oleh National Democratic Institute (NDI) pimpinan Madeleine Albright serta sejumlah LSM/NGO yang membentuk Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru. Akibatnya, lahirlah UUD baru, yakni UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 yang kerap disebut UUD 2002 atau UUD 45 Palsu.
Sangat disayangkan, sebagaimana berulang kali ditegaskan oleh Ketua Presidium Konstitusi, Jenderal Purnawirawan TNI Try Sutrisno (Wakil Presiden RI ke-6 dan Panglima ABRI ke-9), fraksi ABRI di MPR saat itu bersikap abstain. Sikap ini merupakan pelanggaran terhadap Sumpah Prajurit yang mengikat seluruh anggota ABRI yang kini terpisah menjadi TNI dan Polri. Bahkan, dalam satu kesempatan, Try Sutrisno menyatakan bahwa pimpinan ABRI masa itu telah berkhianat pada sumpah mereka.
Sumpah Prajurit adalah ikrar suci yang diucapkan setiap prajurit TNI saat dilantik. Isinya mencerminkan komitmen mutlak kepada negara dan konstitusi:
1. “Saya bersumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
2. ”Saya bersumpah taat kepada hukum dan akan memuliakan hukum yang berlaku di negara ini.”
3. ”Saya bersumpah membela negara dengan jiwa raga serta menjalankan tugas penuh tanggung jawab.”
Sumpah ini bukan sekadar formalitas, melainkan janji sakral yang menuntut integritas, loyalitas, dan profesionalisme setiap prajurit dalam menjaga kedaulatan negara. Sikap abstain fraksi ABRI yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi merupakan pengingkaran terhadap sumpah tersebut, terutama ketika UUD 1945 yang asli digantikan tanpa perlawanan.
Pertanyaan kritis patut diajukan: Siapakah yang layak disebut pejuang, dan siapakah yang tergolong pengkhianat? Sejarah akan mencatat mereka yang konsisten memegang sumpah, dan mereka yang diam atau bahkan berkompromi saat konstitusi dirobek.
Oleh : Zulkifli S Ekomei, aktifis kebangsaan.







