JAKARTA, Beritalima.com– Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Karya yang bergerak di sektor konstruksi dibayangi beban utang tinggi, pendapatan anjlok, laba bersih merosot tajam dan rugi dengan angka yang signifikan.
Ketua bidang Kebijakan Publik Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Achmad Nur Hidayat menilai, berlarutnya penanganan masalah utang BUMN Karya dapat mengurangi kecepatan pertumbuhan ekonomi pada saat Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang positif di 2021.
“Pemerintah harus bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah utang BUMN Karya yang semakin menggunung. Bila tak segera dicarikan solusi, kondisi utang BUMN Karya yang tidak terkendali bakal menyebabkan persoalan kredibilitas BUMN secara keseluruhan,” kata dia kepada awak media pertengahan pekan ini.
Achmad Nur yang akrab disapa Matnoer itu menegaskan, persoalan BUMN Karya tidak lepas dari pembebanan program infrastruktur yang berlebihan dan tidak diikuti prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
“Proyek yang tidak masuk secara pertimbangan ekonomi tetap dikerjakan sehingga memberatkan neraca BUMN karya disamping konsekuensi gagalnya divestasi proyek-proyek infrastruktur tahun penuh pandemi 2020,” kata Matnoer.
Dia menilai, akar masalah menggunungnya utang BUMN Karya karena kesenjangan kemampuan pendanaan domestik dan kebutuhan pembiayaan untuk infrastruktur nasional. “Bagi Gelora, persoalan utang ini tidak lepas dari gap antara kemampuan pendanaan dalam negeri dan kebutuhan pembiayaan untuk infrastruktur,” papar Matnoer.
Diingatkan, ambisi infrastruktur Jokowi dapat berbuah simalakama, bila tak tersedia pendanaan dalam negeri termasuk pembangunan Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur. “Untuk menghindari mangkraknya infrastuktur akibat kekurangan dana, Gelora menyarankan Pemerintah melakukan penambahan modal negara kepada BUMN Karya.”
Namun, sebelum itu dilakukan, Pemerintah perlu memgaudit kinerja dan investigasi terhadap membengkaknya utang BUMN Karya. “Audit itu adalah keharusan karena utang membengkak menunjukan BUMN selama ini tidak dikelola secara berkelanjutan,” kata dia.
Partai Gelora menilai, banyak ketidakefisienan salah satunya karena proyek infrastruktur dijalankan tidak matang pertimbangan ekonominya.
Proyek itu dianalisis rugi tetapi tetap dijalankan Pemerintah, salah satunya adalah Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) dan Bandara Internasional Kertajati, Majalengka, Jawa Barat. “Partai Gelora sejak awal melihat Tol Becakayu dan Kertajati merupakan proyek rugi karena tidak matang pertimbangan ekonominya,” tegas Matnoer.
Masalah lain yang disoroti soal pengelolaan BUMN dalam infrastruktur selama ini telah mematikan ekosistem persaingan sehat dengan pihak swasta sehingga swasta menjadi terpinggirkan dalam mayoritas proyek infrastruktur pemerintah di era kepemimpinan Jokowi.
Matnoer juga melihat akar masalah karena banyak Dewan Komisaris dan Direksi BUMN merangkap jabatan di Kementerian PUPR, Perhubungan dan BUMN. “BUMN tiba-tiba menjadi regulator dan eksekutor dalam menjalankan proyek infrastruktur.”
Kementerian BUMN mengatur jabatan rangkap berdasarkan Peraturan Menteri BUMN No: 10/2020. “Sungguh tidak sehat, rangkap jabatan bagi Komisaris dan Direksi BUMN saat ini. Rangkap jabatan berpotensi menyebabkan tidak fokusnya para direksi dalam melaksanakan tugas operasional BUMN,” kata Matnoer.
Karena rangkap jabatan dalam prakteknya justru menyebabkan terjadinya praktik persaingan usaha tak sehat, seperti kartel dan perjanjian eksklusif yang menghambat berkembangnya perusahan lain non BUMN. “Gelora minta Erick Thohir mencabut Permen No: 10/2020 agar persaingan usaha BUMN dengan swasta sehat demi kepentingan nasional dan percepatan ekonomi nasional.”
Partai Gelora, kata Matnoer, menyarankan pemerintah segera melakukan langkah ini agar BUMN Karya bisa segera sehat dan tidak terjerat hutang lagi. Pertama, penugasan BUMN Karya untuk infrastruktur perlu piikuti Penguatan Ekuitas BUMN Karya.
Kedua, mendisplinkan BUMN agar menjadi organisasi yang Efisien. Ketiga, divestasi aset BUMN melalui Lembaga Pembiayaan Indonesia (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA)
Sebagai gambaran, PT Wijaya Karya (WIKA) tahun lalu meraih pendapatan Rp 16,53 triliun, anjlok 39,23 persen dari tahun sebelumnya. Laba bersih WIKA turun hingga 91,87 persen menjadi Rp 185,77 miliar.
Jumlah liabilitas jangka pendek WIKA naik Rp 44,16 triliun dari Rp 30,34 triliun 2019. Meski jumlah liabilitas jangka panjang WIKA menurun, tetapi total liabilitas WIKA jadi Rp 51,45 triliun dari 2019 yang Rp 42,89 triliun.
Tidak jauh beda, Adhi Karya mencatatkan penurunan laba bersih hingga 96,39 persen. Adhi Karya membukukan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk Rp 23,97 miliar sepanjang tahun lalu.
Jumlah liabilitas Adhi Karya 2020 Rp 32,51 triliun, naik 9,53 persen dari tahun sebelumnya Rp 29,68 triliun. Liabilitas jangka pendek Adhi Karya per tahun lalu Rp 27,06 triliun, sedangkan liabilitas jangka panjang Rp 5,44 triliun.
Kondisi lebih tragis dialami PT Waskita Karya. Mampu mencetak laba Rp 938,14 miliar pada 2019, tetapi rugi hingga Rp 7,38 triliun 2020. Liabilitas jangka pendek Waskita Karya menjadi Rp 48,23 triliun pada 2020 dari sebelumnya Rp 45,02 triliun.
Meski total liabilitas menurun dari Rp 93,47 triliun pada 2019 menjadi Rp 89,01 triliun 2020, tetapi bertambahnya jumlah ruas tol milik Waskita yang beroperasi justru menambah beban pinjaman yang mencapai Rp 4,74 triliun atau melonjak 31 persen secara tahunan. (akhir)