Oleh:
Rudi S Kamri
Kemarahan itu sifat manusiawi. Kalau seseorang tidak punya jiwa amarah dalam dirinya, mungkin malah perlu dipertanyakan roh kemanusiaannya. Apalagi seseorang pemimpin negara. Melihat silang sengkarut komunikasi publik anak buahnya dan kacaunya performa kerja para menterinya yang terlihat tidak punya ‘sense of crisis’, wajar sekali seorang Presiden marah. Dan menurut catatan saya tidak ada seorang Presiden Indonesia yang tidak marah dalam masa kepemimpinannya. Mulai Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada saat melihat tayangan Presiden Joko Widodo marah di rapat terbatas kabinet pada 18 Juni 2020 lalu, menurut saya biasa-biasa dan wajar saja. Bahkan sangat tidak wajar kalau seorang Presiden tidak marah melihat cara kerja beberapa menterinya seperti saat ini. Hanya saja saya menyesalkan mengapa video kemarahan Presiden Jokowi baru diunggah ke ranah publik 10 hari kemudian. Ini terkesan settingan atau mungkin memang ada pesan kuat yang ingin dikabarkan oleh seorang Jokowi kepada publik dan kepada para ‘endorser’ (baca: Ketua Umum Parpol dan pemegang saham kemenangan Pilpres 2019) yang mengusulkan para menteri di Kabinet Indonesia Maju.
Kemarahan seorang Jokowi yang tidak punya sifat tempamental memang menarik untuk diperbincangkan. Saya melihat ini adalah signal kuat yang ingin ditransfer seorang Jokowi kepada publik dan para ‘endorser’. Signal kuat yang terbaca adalah akan terjadi resuffle kabinet. Dan ini pun bukan sesuatu yang mengagetkan.
Secara jujur sebagian menteri terlihat kurang bisa menerjemahkan visi dan misi Presiden. Ditambah dengan datangnya pandemi Covid-19. Sebagian menteri memang terlihat gagap untuk menyikapinya. Kerja cepat Jokowi tidak mampu diikuti para pembantunya. Sebagian bahkan terlihat membuat panggung sendiri. Sebagai seorang conductor, Presiden Jokowi gagal membuat aransemen orkestra yang harmoni karena sebagian pemain orkestranya tidak punya kemampuan membaca notasi musikal yang telah digubah Jokowi. Akhirnya seperti kita lihat, irama orkestrasinya ‘ngalor-ngidul’ dan tidak mampu membentuk simponi yang indah.
Kedatangan pandemi Covid-19 selain sebuah musibah juga bisa kita syukuri membawa banyak berkah. Salah satu berkah untuk Indonesia adalah Presiden Jokowi menyadari kesalahannya dalam memilih pembantunya di awal periode kedua ini. Kekhawatiran sebagian masyarakat akan kemampuan Kabinet Indonesia Maju akhirnya terkonfirmasi di saat pandemi Covid-19 ini. Dan memang ujian sebenarnya bagi seorang pemimpin bisa dilihat saat terjadinya sebuah krisis yang melanda. Apakah dia bisa berselancar di tengah gelombang atau dia akhirnya terseret tenggelam diamuk badai.
Namun kemarahan Presiden Jokowi bagi saya tetap hal yang lumrah dan manusiawi. Tinggal kita menunggu apa yang akan dilakukan Presiden menindaklanjuti kemarahannya. Bukan hanya masyarakat biasa yang menunggu, pasar bursa dan bisnispun menunggu dengan was-was menanti apa gebrakan Presiden selanjutnya. Apakah sebuah resuffle yang akan dilakukan sehingga terbentuk ‘team work’ orkestrasi yang lebih tangguh dan menjanjikan atau cuma gertak sambal semata. Publik menunggu…
Tapi saya percaya, publikasi kemarahan dengan ‘time delay’ 10 hari pasti punya maksud dan tujuan tertentu. Dan saat-saat genting seperti saat ini di bawah karpet dan secara tidak kasat mata pasti sedang terjadi ‘bargaining’ dan hitung-hitungan politis tingkat tinggi. Itu sah-sah saja dalam politik kenegaraan. Rakyat hanya menunggu apa hasil pertarungan yang sedang terjadi. Apakah Presiden Jokowi berhasil keluar sebagai pemenang atau kembali kalah didikte para endorsers yang merasa menjadi pemegang saham terbesar kemenangan Pilpres 2019.
So, biarkan Presiden Jokowi marah. Karena malah aneh kalau beliau tidak marah dengan acak kadutnya kerja para pembantunya. Kemarahan atau kejengkelan Jokowi bisa juga dimaknai sebagai bentuk pengakuan dan ‘self-correction’ bahwa selama ini beliau telah salah menunjuk para menterinya. Publik tinggal menunggu tindak lanjut kemarahannya. Apakah hanya sekedar kemarahan yang sia-sia atau kemarahan yang membawa berkah untuk Indonesia.
Saat ini tokek di rumahku sedang menghitung:
• Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif
• Menteri Kesehatan
• Menteri Perdagangan
• Menteri Sosial
• Menteri Agama
• Menteri Koperasi dan UMKM
• Menteri BUMN
• Menteri Perhubungan
• Menteri Desa & DTT
• Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Menteri apa lagi yaaa ?
Entahlah…..
Btw kita masih punya Wapres kan?
Salam SATU Indonesia,
01072020