Apa yang Tidak Kita Rasakan

  • Whatsapp

Oleh Arip Musthopa
Pendiri Opinia@BacaBuku

Tiba-tiba saya ingin menulis tentang ini : apa yang tidak kita rasakan sebagai bangsa Indonesia saat ini. Ini mungkin curhat hati dan pikiran saya yang paling sublim. Semoga Anda semua berkenan mendengar keluh kesah jiwa saya ini. Sebelumnya, penulis mohon maaf apabila ada yang merasa “terkena” oleh tulisan ini.

Pertama adalah rendahnya moralitas dan etika dalam mengelola jabatan publik atau sebagai pejabat publik. Sebagai pejabat, kita harus memiliki rasa malu alih-alih mempertontonkan conflict of interest antara jabatan di pemerintahan dan bisnis pribadi. Kita harus punya malu sehingga tidak membuat mekanisme “akal-akalan” melalui Perpres atau memanfaatkan kelemahan atasan untuk me-legal-kan modus korupsi. Kita harus punya malu alih-alih mempertontonkan dwifungsi antara tugas di pemerintahan dengan di BUMN. Kita harus malu berkata kotor dan kasar di hadapan publik, bahkan menantang public figure yang kritis. Kita harus malu berupaya mewariskan jabatan public kepada isteri atau anak yang less competency, dan lain-lain.

Kita tahu bahwa bisnis dan politik sulit dipisahkan. Tapi saya yakin ada cara beradab untuk mengelola keduanya. Ada nilai-nilai universal yang harus dihormati. Ada rambu-rambu hukum dan etika yang harus ditegakkan. Saya yakin banyak cara bisa ditempuh tanpa harus mencampurkan antara “apresiasi” kepada “tim sukses” dengan jabatan pemerintahan. Saya yakin ada cara cerdas untuk ungkapkan emosi akibat tekanan tanpa harus melakukannya di hadapan publik, dan seterusnya.

Ada kearifan lokal, ada budaya bangsa, ada nilai-nilai universal yang biasa dirujuk sebagai attitude seorang pejabat publik. Dan sungguh mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi berikutnya lebih bernilai dari sekedar mewariskan harta dan tahta.

Kedua, tidak berupaya merawat dan meningkatkan kualitas demokrasi. Ini terasa sekali. Terutama sikap alergi terhadap suara kritis dan pemikiran alternatif. Ada dua tindakan biasa dilakukan dalam menangani oposan, seolah telah menjadi SOP (Standard Operating Procedure) : merusak nama baiknya atau memperkarakannya secara hukum.

Tidak ada demokrasi tanpa berjalannya mekanisme checks and balances. Tak ada checks and balances tanpa hadirnya kekuatan oposisi. Oposisi adalah “lawan tanding” (sparing partner) dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan). Ketiadaan oposisi akan menjerumuskan penguasa ke jurang yang terdalam.

Ketiga, tidak memiliki visi besar atau grand plan untuk Indonesia. Mungkin visi itu ada, tapi ditinggalkan dan dilupakan. Atau ingat tapi tidak paham bagaimana cara menjalankannya. Menurut “kabar burung”, visinya mau membangun sumber daya manusia Indonesia secara besar-besaran. Halooo…apakah masih ingat visi tersebut? Atau kini merasa visi tersebut sudah tidak tepat lagi? Dua raksasa sedang sibuk berperang, kita mau ngapain, komandan?

Visi besar diperlukan untuk memandu menterjemahkan dan mengambil posisi dalam dinamika internal, geopolik, dan geoekonomi regional/internasional. Tanpa visi, kita mudah diarahkan pihak lain. Ada pepatah populer : kendalikan pikiranmu, atau orang lain akan melakukannya.

Keempat, tidak memiliki sense of crisis. Sedang krisis, tapi kinerjanya kok biasa saja? Sedang krisis, kok bisa-bisanya berpikir korupsi? Rakyat sedang menderita, minimal bersimpatik. Jangan sibuk sendiri.

Individu besar adalah individu yang utamakan kepentingan bangsa dan negara, bukan pribadi dan kelompoknya. Memang selalu ada tuntutan eksistensial pribadi dan kelompok, tapi percayalah “karma baik” berupa kehormatan, kedudukan, dan kekayaan akan datang dengan sendirinya bila utamakan kepentingan bangsa dan negara. Begitu juga hal sebaliknya akan berlaku. Jakarta, 14 Juli 2020.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait