Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH
SEJUMLAH anggota DPR RI asal Sumatera Barat meminta Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani. agar minta maaf kepada masyarakat Sumatera Barat (Sumbar).
Permintaan maaf itu dikaitkan dengan pernyataan Puan Maharani yang dianggap menyinggung rasa nasionalisme masyarakat Sumbar. Saat acara pengumuman nama calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusung PDIP di Sumbar, ada ucapan Puan yang dianggap “nyeleneh”.
Puan mengatakan “semoga Sumbar mendukung negara Pancasila”.
Nah, kalimat itu dianggap seolah-olah masyarakat Sumbar selama ini tidak mendukung negara Pancasila. Kalimat itu sangat tidak patut diucapkan oleh seorang Puan yang juga Ketua DPR RI.
Tidak hanya satu atau sekelompok orang yang merasa “tersentak” mendengar berita tentang ucapan anak kandung Megawati dengan Taufik Kemas itu. Sesungguhnya Puan itu harus sadar bahwa di dalam tubuhnya mengalir darah Minang atau Sumbar.
Ayahnya, Taufik Kemas adalah putra Minang, karena ibu kandung Taufik Kemas adalah orang Minang. Dalam kehidupan sistem matrilineal, Taufik adalah orang Minang. Harusnya Puan sadar dengan asal-usulnya.
Taufik Kemas, ayah kandung Puan berasal dari Nagari Sabu, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Taufik Kemas juga penyandang jabatan terhormat sebagai penghulu suku Sikumbang dengan bergelar Datuk Basa Batuah. Sedangkan isterinya, Megawati bergelar Puti Reno Nilam. Tidak tanggung-tanggung penobatan gelar adat itu dilaksanakan di Istana Raja Mnangkabau, di Pagaruyung.
Apakah Puan Maharani Lupa, ayahnya Taufik Kemas bergelar Datuk Basa Batuah, yang juga berasal dari Sumatera Barat atau Minang?
Jadi, kalau Puan menyadari asal-usulnya, apa lagi sebagai pejabat negara, maka sangat tidak layak Puan bertutur demikian. Ucapan Puan itu tidak hanya menyinggung warga masyarakat Sumbar yang terlibat dalam pilih-memilih pada Pilkada saja. Masyarakat Minang dan Sumbar yang berada di ibukota Jakarta, serta di perantauan juga menyesalkannya.
Oleh sebab itu, Puan harus sadar dan mengakui kesalahanannya mengucapkan kalimat agar warga Sumbar mendukung negara Pancasila. Seharusnya, tanpa diminta pun, Puan bisa membuka cakrawala pandangnya. “Menyesal dan minta maaf”.
Di berbagai mediamassa, banyak tokoh masyarakat Sumbar yang berharap Puan minta maaf. Bahkan di mediasosial pun, tidak sedikit yang menulis hujatan terhadap pernyataan Puan itu.
Kalangan anggota DPR RI, misalnya yang berasal dari Dapil Sumbar, Darul Siska. Dia menyesalkan dan menyayangkan ucapan seorang pimpinan partai yang juga pimpinan lembaga negara.
Pernyataan Puan itu benar-benar menyinggung perasaan orang Sumbar. Dari dulu, masyarakat Minang secara konsisten mendukung Pancasila.
Puan jangan sekali-kali melupakan sejarah, sebagaimana petuah kakek kandungnya Sukarno. Puan sebagai generasi zaman now, harus tahu jejak pejuang bangsa ini. Orang Sumbar sejak awal, ikut menggali dan merumuskan Pancasila yang menjadi dasar negara kita.
Sebagai cucu Proklamator, Puan pasti tahu teman seperjuangan Bung Karno. Di antaranya: Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Sjafruddin Prawiranegara, dan masih banyak lagi yang lain.
Penilaian terhadap loyalitas suatu daerah terhadap Ideologi tidak bisa dilihat dari hasil pemilihan umum. Pernyataan Puan Maharani itu telah mengusik rasa nasionalisme suatu daerah.
Puan harus berkacadiri sebelum membuat pernyataan yang menilai loyalitas suatu daerah terhadap ideologi negara. Sebab, ideologi bukan milik orang per orang atau kelompok tertentu saja. Apalagi, jika hal itu didasarkan pada perolehan hasil pilkada atau pemilu.
Tidak hanya sekedar menyesal, di samping minta maaf, Puan juga harus menyatakan “menyabut” kalimat yang sudah “melecehkan” secara sengaja maupun tidak sengaja itu. Apabila Puan melakukannya dengan sadar, maka jadilah dia perempuan yang bijaksana sebagai seorang negarawati.
Mungkin layak pula didengar kekecewaan anggota Komisi II DPR RI dari dapil Sumbar II, Guspardi Gaus. Dia merasa prihatin terhadap statement yang dikeluarkan Puan Maharani. Saat ini, katanya, ada hujatan dari masyarakat atas ucapan itu. Dia mengaku sedih pimpinannya di DPR RI itu dihujat rakyat.
Memang, daripada polemik dan hujatan yang berkepanjangan terhadap Puan. Kasihan juga, kalau Puan dibuli oleh masyarakat. Untuk itu kendati hati panas, kepala tetap dingin. Marilah kita mengetuk nurani Puan. Semoga dengan rendah hati, mau menerima niat baik itu. Dan secara terbuka, menyatakan penyesalan atas ketersinggungan masyarakat Sumbar.
Seyogianya pula jajaran pimpinan DPR RI, maupun PDI Perjuangan, dengan sikap kenegarawanan tidak usah memperpanjang polemik dan pro-kontra. Tidak perlu ada lagi pembelaan atau berkilah dan bersilat lidah.
Jangan pula seperti yang dikatakan Sekjen PDIP Hasto Kristianto. Penjelasannya bernada pembelaan terkait pernyataan Puan itu tidak perlu diulas lagi. Kalau tetap bersilat lidah, tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimanapun juga, orang Minang atau Sumbar itu sangat terlatih dalam berbalas pantun.
Tidak perlu pula dijelaskan; bahwa maksud Puan itu agar Sumbar mendukung negara Pancasila dalam aspek kebudayaan dan nasionalisme, seperti dalih yang diucapkan Hasto Kristianto
Nah, marilah kita membuka hati masing-masing, tanpa menggurui. Walaupun berat, demi kemaslahatan umat, layak kita mengalah, bukan untuk kalah. Umumnya orang itu pasti ingin mempertahankan pendapat. Bahkan tidak jarang pula berusaha “menegakkan benang basah”, begitu pepatah tua dari Ranah Minang. (**)