Arif “BERTOA” Di Masjid

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Beberapa waktu lalu Jakarta pernah disorot media asing tentang kebisingan pengeras suara masjid. Detik.news malah menulis mengenai hal itu dengan judul “Media Asing Soroti Azan di Jakarta Berisik” (detik.News, 14/102021). Adalah Agence France-Presse (AFP), agensi berita internasional yang berpusat di Paris, Prancis, yang menyoroti suara azan di Jakarta. Dengan mengambil responden seorang wanita bernama Rina, ( bukan nama sebenarnya) seorang muslimah, tampaknya media itu bermaksud mengemukakan bahwa sekalipun orang sangat tidak nyaman dengan pengeras suara masjid akan tetapi tidak berani komplain apalagi melaporkannya kepada aparata penegak hukum. Ketakutan mereka bukan tanpa alasan. Melaporkan suara speaker masjid, apalagi adzan berpotensi dituduh melakukan penistaan agama. Jangankan non muslim, yang muslim saja sering menjadi bulan-bulanan kelompok Islam tertentu. Inilah sebabnya banyak orang yang sebenarnya tidak nyaman dengan suara pengeras suara masjid tetapi memilih diam dan bertahan. Secara psikologis, orang yang diam dalam tekanan tentu berpotensi terjangkit penyakit gangguan jiwa. Secara sosial, di tengah masyarakat yang sangat hiterogen seperti Indonesia, juga berpotensi menimbulkan kerawanan sosial.

Dalam konteks situasi dan kondisi demikian itulah Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara, setelah melalui kajian mendalam dengan melibatkan lembaga terkait, dikeluarkan. SE yang diteken 18 Februari 2022 sebenarnya diterbitkan dengan tujuan untuk meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan. Akan tetapi, di luar dugaan SE itu menciptakan kontroversi luar biasa di awal-awal tahun 2022 ini. Dan, pro kontra ini tampaknya diperparah oleh kehadiran media sosial dan kelompok tertentu yang entah di sengaja atau tidak menggeser substansi persoalan pokok keluar dari konteksnya. Untungnya, dua ormas Islam terbesar, Muhammadiyah dan NU ‘mendukung’ terbitnya ‘kebijakan’ Menteri Agama tersebut. “Bagus ada pengaturan. Supaya penggunaan suara pengeras masjid ataupun yang lain tidak sembarangan. Tidak sembarang waktu”, kata Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dadang Kahmad (detik.News,23/02/2022).

Lantas, apakah pengaturan pengeras suara itu hanya bermanfaat dari aspek sosial?
Sebagaimana kita ketahui desibel (dB) dalah satuan untuk mengukur intensitas suara. Seberapa keras suatu suara dan seberapa telinga manusia memiliki batasan sehat saat mendengarnya, dapat dijadikan objek penelitian. Seorang peneliti Muh. Nuruzzaman Hattam telah melakukan studi mengenai tingkat kebisingan pada konser musik. Dalam hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2019 yang dipertahankan di Universitas Hasanudin itu, dia mengemukakan beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh masyarakat, antara lain, bahwa menurut WHO, batas aman suara yang diterima oleh telinga adalah 85 desibel (dB) selama paling lama delapan jam. WHO menganjurkan Anda untuk tidak berada di lingkungan dengan suara sebesar 100 dB selama lebih dari 15 menit. Anda juga sebaiknya tidak mendengar suara di atas 105 dB selama lebih tiga menit.

Sementara itu, kebisingan di konser musik bisa mencapai 100 hingga 120 dB dan konser musik pasti berlangsung selama lebih dari satu jam. Jika Anda berdiri di dekat pengeras suara, kebisingannya bisa mencapai 140 dB dan hal ini sangat berisiko menyebabkan hilang pendengaran. Kebisingan yang Anda dengar selama konser musik berlangsung biasanya akan mengakibatkan gangguan pendengaran yang bersifat sementara. Dampaknya pada setiap orang berbeda-beda, mulai dari telinga berdenging (secara medis dikenal sebagai tinnitus), rasa sakit pada telinga, hingga hilang pendengaran. Ini karena di dalam telinga Anda terdapat sel rambut yang akan menerima getaran dari gendang telinga. Getaran ini akan kemudian diubah oleh sel rambut menjadi sinyal elektrik yang akan dikirim oleh saraf menuju otak. Otak pun menerjemahkan sinyal elektrik tersebut sebagai bunyi.

Sel-sel rambut dalam telinga ini sangat peka terhadap suara keras sehingga mudah rusak jika Anda berada di konser musik. Sebuah studi yang dilakukan oleh University Medical Center Utrecht di Belanda telah menguji para partisipan penelitian yang berusia rata-rata 27 tahun untuk mendatangi sebuah festival musik di lahan terbuka. Rata-rata suara yang dihasilkan oleh konser yang berlangsung selama 4,5 jam tersebut adalah 100 dB.
Dengan memperhatikan dampak yang ditimbulkan bagi kesehatan telinga itulah, Indonesia lewat menteri negara lingkungan hidup pernah mengeluarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP-48/MENLH/11/1996 tentang standar kebisingan, batas kebisingan di tempat ibadah atau sejenisnya ditetapkan sebesar 55 dB.

Narasi di atas tentu bukan dimaksudkan hendak menganalogkan suara adzan dengan konser musik. Suara apapun yang masuk ke telinga, apapun sumbernya sejatinya bisa diukur tingkat kebisingannya, dari sisi efek bahaya dan tidaknya. Secara teori hal demikian bisa menjadi objek studi, tidak terkecuali suara pengeras suara di masjid. Terlepas kita setuju atau tidak itulah kajian studi. Mestinya kita tidak perlu apriori lebih dahulu. Apalagi, lantas kita membuat eksperimen sendiri dengan mencoba suara disibel terendah sampai yang tertinggi dengan menggunakan telinga kita sendiri. Apa yang telah dilakukan para ahli mengenai hubungan tingkat kebisingan dengan telinga kita perlu kita ‘imani’ saja, seperti keyakinan kita bahwa yang makan akan kenyang dan yang abai terhadap kesehatan akan sakit.

Pada SE Menag pengeras suara diberi toleransi 100 dB. Volume sekeras itu untuk konteks sekarang sebenarnya, kalau sekedar untuk mengumandangkan adzan di masjid kota, sudah lumayan keras. Suara dengan satuan 100 dB setara dengan pesawat jet lepas landas dengan ketinggian 305 meter atau klakson sejauh 5 meter. Dan, masih jauh lebih nyaring dari standar kebisingan yang pernah ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1996 di atas. Apalagi, di kota masjid yang saling berdekatan itu semuanya juga mengumandangkan adzan memakai pengeras. Suara pengeras 100 dB, secara teori tidak boleh kita perdengarkan lebih dari 15 menit secara terus-menerus karena berpotensi merusak pendengaran.

Mungkin ada sekelompok orang berpandangan, bahwa penggunaan pengeras masjid (adzan dan lainnya) merupakan salah satu bentuk syiar agama. Kalaupun kita beranggapan bahwa pengeras suara pengeras masjid merupakan salah satu syiar agama, syiar itu sebenarnya tidak dihilangkan oleh SE Menag itu. Akan tetapi, dengan SE itu justru menunjang agar syiar itu dapat memberi kenyamanan bagi orang banyak. Tetapi, apakah pengeras suara masjid benar sebagai syiar? Secara akademik tentu bisa diperdebatkan. Penulis sendiri termasuk yang tidak sependapat bahwa pengeras suara mesjid itu merupakan salah satu syiar agama. Menurut penulis, syiar agama di samping simbol-simbol yang telah ditentukan Allah an rasul-Nya, secara sosial, harus ditunjukkan dengan tampilan dan karya nyata ummatnya. Mengganggu kenyamanan orang, dengan sembarangan menggunakan pengeras suara masjid, bukanlah syiar agama. Tetapi, hal demikian justru bertentangan dengan salah satu substansi ajaran Islam, yaitu larangan ‘mengganggu’ tetangga. Seoramg nitizen mengatakan, bahwa ada orang masuk Islam justru karena mendengarkan azan. Kita perlu menanggapinya, tentu bukan suara adzan dengan suara yang memekakkan telinga. Mengenai hal ini ada baiknya kita simak sebuah kisah dari Matsnawi (Jalaludin Rumi), yaitu tentang seorang putri pendeta yang bertekad masuk Islam. Akan tetapi, setelah mendengar suara keras, jelek dan parau dari seorang muadzin yang mengumandangkan adzan sang putri jadi takut, gemetar dan benci. Sang Puteri pun urung masuk Islam walaupun sudah mulai mempelajarinya. Kata Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi (sebagaimana dituturkan oleh Dr.H. Mukhtar Zamzami, S.H.,M.H., Mantan Hakim Agung RI): “Adzanun bishautin ‘alin au qabihin ghaughaiyyatun diniyyatun” ( adzan dengan suara keras nan jelek adalah merendahkan agama). Dengan kata lain, sendainya suara pengeras masjid itu terdengar indah dan ummatnya pun ramah, mungkin lebih banyak lagi yang tertarik masuk Islam. Wallahu A’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait