Oleh: H.Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Banjarmasin)
Pak Jokowi memang telah lengser. Namun, mungkin tetap perlu sesering mungkin mendengar dan melihat berita. Perkembangan isu perpolitikan yang ada, rupanya masih selalu saja terkait dirinya. Dinamika tersebut perlu terus diikuti, tentu sebagai langkah ‘antisipasi’. Mengapa? Rupanya sejak kasus putusan MK yang diketuai “sang Paman” dan kemudian meloloskan ‘sang keponakan’ “nyawapres” (Mas Gibran) hingga kini, para pembencinya terus mencari amunsi baru. Waktu Pak Jokowi masih berkuasa amunisi itu digunakan untuk memakzulkannya. Setelah nyata-nyata tidak berhasil, amnusi ini digunakan 2 tujuan sekaligus, yaitu pertama untuk memakzulkan Gibran dari kursi empuk wapres dan kedua, untuk menggiring bapaknya (Pak Jokowi) di meja hijau. Terkini isu “pagar laut” yang menghebohkan itu membuat para pembenci Jokowi, seolah tidak sabar ingin segera memasukkannya ke hotel prodeo.
Meskipun ada yang berpendapat bahwa keberhasilan Mas Gibran mencapai karir politik puncak itu, akibat proses pertarungan politik biasa, tetapi para pembenci tetap tidak menerima. Keberhasilan Gibran tetap dianggap sebagai akibat proses politik yang tidak wajar dan ketidakwajaran itu disebabkan ‘ulah’ sang ayah. Ironisnya, barisan pembenci itu kini semakin banyak saja. Bahkan, upaya itu kini harus ditambah dengan upaya memecah kekompakan Presiden terpilih dengan Wakilnya dan kekompakan Presiden Prabowo dan Pak Jokowi. Seorang teman yang dulu berada di ruang pembela Pak Jokowi, termasuk capaian kinerjanya, kini juga ikut-ikutan ‘berpindah ruangan’ Melihat perubahan sikap sang teman ini saya sendiri sempat heran. Usut punya usut perubahan sikap ini dimulai sejak calon capres yang sangat diidolakan “keok”. Sejak saat itu statusnya di medsos pun berubah. Dan, saya amati status medsosnya kian hari kian kasar, sekasar postingannya ketika ‘menumpas’ para pembenci Jokowi saat menjadi penggilanya. Diksi yang dipakai kian hari kian vulgar dan bahkan bernuansa ujaran kebencian–sesuatu yang setahu saya dulu sangat ia hindari.
Tentu saya tidak menyalahkan perubahan sikap (keberpihakan politik) sang teman itu. Yang saya sayangkan adalah ketika sang teman tadi kini sudah masuk wilayah yang menjadi idola saya. Bagi saya aspek ini termasuk wilayah sensitif. Apa itu? Keadilan. Ya, keadilan. Keadilan menjadi salah satu idola saya, karena untuk mencapainya selalu harus mempertimbangkan berbagai aspek. Dari berbagai aspek itu yang paling asas adalah kesediaan mendengar dari dua sumber yang saling antagonis sambil tetap berada dalam posisi netral. Dalam sebuah pemeriksaan perkara praktik demikian terangkum dalam asas “Audi et alteram partem”. Betapa ajaran demikian telah menjadi doktrin universal, sampai-sampai Rasulullah SAW sendiri mewanti-wanti kita dengan sabdanya: “…Janganlah menetapkan keputusan hukum untuk orang pertama sebelum engkau mendengar pihak lainnya, karena dengan demikian engkau dapat mengetahui siapa yang benar” (HR Abu Dawud).
Sebagai orang yang harus netral, saya selalu melihat informasi tentang seseorang selalu dari dua arah, yang pro dan yang kontra. Dalam konteks mengadili, semua informasi yang terkait dengan kasus, sangat diperlukan dan harus ditampung. Kita tidak boleh terkecoh dengan informasi yang seolah benar sebanding dengan ketidakbolehan mempercayai dengan informasi yang seolah salah sebelum mengujinya. Pada akhirnya semua informasi tersebut harus diuji dengan bukti-bukti sehingga benar-benar diperoleh fakta yang benar. Rupanya kerangka berfikir demikian yang sangat miskin dalam dunia medsos. Keadilan medsos sering bias dari peristiwa senyatanya akibat minimnya ‘verifikasi’. Banyak nitizen yang terjebak dengan cara berfikir demikian. Ironisnya di antara mereka itu di dalamnya ada para cerdik pandai.
Tetapi terlepas dari pro kontra tentang sosok Pak Jokowi, yang pasti beliau telah terpilih secara demokratis selama 2 kali dalam pilpres langsung. Artinya, selama pilpres itu setidaknya lebih banyak rakyat yang menyukainya. Terakhir seteru politiknya pun telah dirangkul dan bahkan bersedia menjadi salah satu pembantunya. Sehebat apa pun capaian karir politinya, dia juga seorang manusia yang mempunyai kelemahan. Dan, kelemahan ini sejatinya juga dimiliki oleh para presiden sebelumnya. Semua kinerja yang dia lalukan selama menjabat bersama para pembantunya, perlu dibaca dalam konteks demi kesejahteraan rakyatnya. Tetapi, faktanya juga tidak satu pun presiden yang luput dari hujatan (sebagian) rakyat. Rasanya memang sangat naif jika di hati para presiden itu, terbersit ingin menghancurkan bangsanya sendiri. Bahwa masih ada saja yang dianggap salah pasti kesalahan itu bukan tujuan, melainkan hanya ekses dari sebuah tujuan besar demi bangsa dan negaranya. Pak Karno, Pak Harto, Gus Dur, Bu Mega, Pak SBY dalam bentuk yang berbeda (tanpa beliau sengaja) telah melakukan kesalahan itu, termasuk kali ini tentunya Pak Jokowi. Bukankah, hanya malaikat yang tidak bisa salah?
![beritalima.com](https://beritalima.com/wp-content/uploads/2025/02/HPN-IKLAN-LANDS-1-scaled.jpg)
![beritalima.com](https://beritalima.com/wp-content/uploads/2025/02/E-Flyer-IG-Story_Penetapan-rev5.png)
![beritalima.com](https://beritalima.com/wp-content/uploads/2025/02/iklan-Malang.jpg)
![beritalima.com](https://beritalima.com/wp-content/uploads/2025/02/IKLAN-REKAPITULASI-LANSCAPE.png)
![beritalima.com](https://beritalima.com/wp-content/uploads/2025/02/IKLAN-TERIMAKASIH-LANSCAPE.png)