JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi III DPR RI yang membidangi keamanan dan hukum dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani mengatakan, penetapan teroris terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Provinsi Papua oleh Pemerintah menimbulkan banyak reaksi dari masyarakat.
Itu dikatakan Arsul dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema ‘Papua adalah Indonesia’ yang digelar secara tatap muka dan virtual di Press Room, Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (6/5). Selain Arsul juga tampil secara virtual sebagai pembicara Dirjen Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), Akmal Malik.
Menurut Asrul yang juga Wakil Ketua MPR RI tersebut, menyoroti aspek penegakkan hukum terkait dengan penetapan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang tidak lagi sebagai sekedar KKB, tapi sudah sebagai organisasi teroris. Penetapan itu banyak mendapatkan reaksi dari sejumlah elemen masyarakat sipil yang intinya tidak setuju dengan keputusan tersebut.
“Dalam perspektif negara demokrasi, hal itu wajar dan tidak dilarang. Tetapi satu hal yang saya catat, ketika OPM ditetapkan sebagai organisasi teroris, konsen elemen masyarakat sipil mengkhawatirkan akan terjadinya pelanggaran HAM. Hal ini yang harus kita dalami secara lebih jauh.”
Ditetapkannya KKB sebagai organisasi teroris, potensi pelanggaran HAM itu tidak termaktub pada pemberian atau penetapan statusnya, itu sangat bergantung kepada karakter dan juga kultur dari aparatur keamanan di Indonesia.
“Ini yang paling penting, meski dengan status KKB dilakukan operasi penegakkan hukum yang melibatkan Polri dan TNI. “Bila karakter aparatur kita yang melakukan operasi penegakkan hukum itu suka melanggar HAM, tetap akan terjadi juga pelanggaran. Namun, kita melihat, paling tidak setelah masa reformasi dan selama beberapa tahun terakhir, karakter itu telah berbeda dan ada perubahan dari masa sebelumnya.”
Arsul mengingatkan Pemerintah, saat OPM ditetapkan sebagai organisasi atau pelaku terorisme berarti ada kerja besar yang harus dilakukan institusi pemerintahan terkait.
Penanganan tidak hanya terbatas pada kerja TNI dan Polri, tetapi sistem pemberantasan terorisme di Indonesia mengacu pendekatan penegakkan hukum berbasis sistem tindak pidana, penyelesaiannya juga harus dengan proses hukum pidana.
Buat saya, lanjut Wakil rakyat dari Dapil X Provinsi Jawa Tengah tersebut, dengan penetepan selaku organisasi teroris, Pemerintah harus melakukan kerja-kerja pencegahan. “UU No: 5/2018 menyebutkan, dalam menangkal dan memberantas terorisme, bukan sekedar menurunkan Densus 88 dan menangkapi saja, tetapi ada pekerjaan lain, yang dirumuskan dalam UU nomenklaturnya disebut sebagai kesiapsiagaan nasional terdiri dari kontra radikalisasi dan deradikalisasi.”
Untuk itu, Arsul berharap, saat terjadi penetapan sebagai organisasi, maka jajaran pemerintahan juga melakukan kerja-kerja kontra radikalisasi dan deradikalisasi untuk masyarakat Papua agar tidak tertarik bergabung dengan OPM itu. “Kerja dimaksud adalah kerja kemanusiaan, mulai dari percepatan pembangunan dan memperhatikan kesejahteraan.”
Sedangkan Akmal Malik mengatakan, dari persfektip sejarah di tingkat internasional seperti PBB tidak ada forum resmi yang mengangkat permasalahan lepasnya Papua dari NKRI. Karena seluruh negara dunia menghormati putusan Resolusi Majelis Umum PBB No: 2504/1969 tentang penentuan pendapat rakyat Papua.
Dalam resolusi itu ditegaskan, Papua merupakan bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Amanah dari resolusi PBB 2504 ini jelas, Papua diberi otonomi khusus dalam percepatan pembangunan kesejahteraan sebagai bagian dari NKRI. “Inilah dibuatkan langkah langkah oleh pemerintah untuk memajukan rakyat Papua,” tutur Akmal. (akhir)