JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arwani Thomafi mengaku, dia bersama rekan-rekan di Komisi II DPR RI kaget ketika Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan pemilihan kepala daerah langsung perlu ditinjau ulang karena memiliki banyak kerugian dan kekurangan yang akhirnya mereduksi demokrasi.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi II DPR RI yang membidangi pemerintahan dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arwani dalam dialetika demokrasi dengan tema ‘Akankah Pemilihan Kepala Daerah Dikembalikan ke DPRD?’ di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (14/11).
Arwani yang didampingi Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tanjung, Ketua Komite I DPD RI, Agustin Teras Narang dan anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Wonosobo, Jawa Tengah, Suwondo Yudhistiro tidak mengerti apa yang menyebabkan Mendagri menyampaikan pernyataan seperti itu?
“Apa memang betul ada keinginan kuat untuk melakukan evaluasi dimana hal itu dimaknai sebagai mengganti kata langsung menjadi tidak langsung karena memang pemahaman evaluasi itu begitu mengagetkan,” kata Arwani.
Namun, ungkap Arwani, ketika Komisi II Raker dengan Mendagri beserta jajarannya, Tito dalam kesempatan itu tidak menyampaikan point tentang evaluasi Pilkada langsung. “Jadi, itu disampaikan di luar, belum ada keterangan resmi terkait dengan hal tersebut di dalam rapat kerja.”
Namun, Arwani tidak menganggap hal itu sebagai sebuah pernyataan yang memicu kegaduhan karena memang pelaksanaan Pilkada langsung sekarang ini wajib untuk dilakukan evaluasi, perbaikan-perbaikan. “Namun, jangan diartikan kalau evaluasi, itu harus diuganti.”
Evaluasi, kata wakil rakyat dari Dapil Provinsi Jawa Tengah ini, apa terkait dengan pembebanan anggaran atau desain tahapan atau coba kita evaluasi kembali soal makna dari evaluasi itu.
Soal kedaulatan rakyat, kata Arwani, pilkada langsung itu muncul karena yang sebelumnya melalui DPRD dianggap tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. “Saya ingat kejadian di pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Bagaimana ketika habis pemilihan DPRD, itu calon terpilih di angkut atau ke luar pakai helikopter. Jadi, masa di luar Gedung DPRD itu menunjukkan adanya ketidak sesuaian aspirasi.
Dikatakan, masyarakat menginginkan (A) sebagai kepala daerah, ternyata anggota DPRD memilih (B).
Intinya adalah prinsip kedaulatan rakyat itu terabaikan, sehingga reformasi yang memilih pemilihan kepala daerah secara langsung dan akhirnya luar biasa partisipasi masyarakat menjadi semakin luar biasa.
“Masyarakat melek politik, mulai dari tim sukses sampai penyelenggara pemilu, mulai tingkat TPS sampai tingkat pusat. Jadi, kalau lapangan pekerjaan, luar biasa, seperti percetakan, termasuk iklan-iklan, iklan di TV maupun di radio, itu berapa, kemudian lembaga survei.”
Pilkada 2017, lanjut Arwani, belanja iklan di televisi menurut lembaga monitoring Abstain City Rp 43 miliar. “Jelas, itu jumlah yang banyak sekali. Biayanya juga banyak. Partisipasinya luar biasa, tak hanya partisipasi di dalam TPS.”
Yang menjadi pertanyaan, lanjut dia, partisipasi masyarakat di pilkada langsung itu tidak pada prinsip dia memilih atau menentukan pilihan di TPS. Tapi, ‘partisipasi’ mulai dari usung calon, jadi Tim Sukses, relawan, lembaga survei, iklan, konsultan dan macam-macam itu, luar biasa.
Dari sisi itu memang masyarakat semakin tercerdaskan. Demikian pula dari ekonomi. Tetapi dari sisi prinsip dimunculkannya pemilihan langsung sebagai instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat tadi. “Monggo saja kita evaluasi
.
Yang kita temukan justru bukan kedaulatan rakyat tetapi adalah *Kedaulatan Modal atau kedaulatan Uang,” demikian Arwani. (akhir)