beritalima.com | Kondisi Negara Myanmar semakin mencekam usai junta militer melakukan kudeta pada awal Pebruari 2021 yang lalu. Sejak junta militer merebut kekuasaan dan menggulingkan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, masyarakat sipil Myanmar terus turun ke jalan untuk melakukan protes. Gelombang massa semakin meningkat, dan korbanpun berjatuhan meski aparat keamanan telah menembakkan gas air mata, peluru karet dan lain-lain untuk membubarkan massa.
Kudeta militer adalah perebutan kekuasaan (pemerintah) yang dilakukan secara paksa oleh militer. Selama lima tahun terakhir Suu Kyi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) telah memimpin Myanmar sejak terpilih pada tahun 2015 dalam pemungutan suara yang adil dan seharusnya sejak 1 Pebruari 2021 Suu Kyi sudah memulai jabatan yang kedua. Namun militer Myanmar mengambil alih pemerintahan dan menjadikan Suu Kyi serta beberapa pejabat Negara sebagai tahanan.
Kudeta ini didasari pada klaim militer tentang kecurangan daftar pemilih dalam pemungutan suara, meskipun Komisi Pemilihan Umum Myanmar menyangkal hal ini karena tidak didukung oleh dokumen yang lengkap. Sementara itu militer mendalilkan bahwa tindakannya benar secara hukum, dan menggunakan konstitusi untuk mengambil alih kekuasaan karena Negara dalam kondisi darurat, dan sebaliknya pihak Suu Kyi mengatakan telah terjadi kudeta.
Kejadian di Myanmar ini telah menarik perhatian masyarakat regional (Negara Asean) dan masyaraka internasional (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Utusan khusus PBB mengatakan bahwa Dewan Keamanan yang merupakan Badan Utama PBB dan putusannya mempunyai legally binding, serta bertugas menangani persoalan keamanan internasional sangat mengecam tindakan yang dilakukan oleh Junta militer. Lebih lanjut Dewan Keamanan menyerukan bahwa kekerasan harus dihentikan dan tidak akan memberikan legitimasi kepada rezim yang telah merebut kekuasaan dan menimbulkan kekacauan.
Bahkan pada Sidang Majelis Umum PBB tanggal 26 Pebruari 2021 Duta Besar Myanmar untuk PBB (Kyaw Moe Tun), meminta Negara anggota untuk mendukung Pemerintahan sipil dibawah kepemimpinan Suu Kyi dengan ikut mengecam pemerintahan junta militer.
Sekarang persoalannya adalah melihat sejauh mana peran Asean sebagai organisasi internasional untuk mengatasi persoalan yang ada di Myanmar. Sebagaimana diketahui dalam pasal 52 Piagam PBB disebutkan bahwa tidak ada satu ketentuanpun dalam Piagam PBB yang menghalang halangi organisasi kedaerahan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di kawasannya. Hal ini berarti Asean harus mampu menyelesaikan kejadian yang terjadi di Myanmar, dan semua anggota Asean harus mempunyai sikap yang sama.
Sejak awal berdirinya Asean melalui Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967 disepakati bahwa deklarasi ini merupakan landasan kesepakatan untuk mengadakan kerjasama regional di bidang ekonomi , social, dan budaya di Asia Tenggara. Deklarasi ini ditanda tangani oleh ketua delegasi dari Indonesia (Adam Malik), Malaysia (Tun Abdul Razak), Singapura, ( S Rajaratman), Thailand (Thanat Khoman), serta Philipina (Narciso Ramos). Myanmar baru menjadi anggota Asean pada tanggal 23 Juli 1997 bersama dengan Laos. Brunei telah lebih dulu menjadi anggota pada tanggal 8 Januari 1984, dan Vietnam pada tanggal 28 Juli 1995.
Pendirian Asean saat itu berlandaskan keinginan untuk menciptakan kawasan Asean yang aman, damai dan sejahtera (dikenal dengan ZOPFAN), Zone of Peace, Freedom and Neutrality yang implementasinya sangat susah karena diantara Negara Negara Asean mempunyai persepsi yang berbeda tentang konsep ZOPFAN ini, termasuk dalam persoalan junta militer di Myanmar.
Salah satu prinsip Asean adalah menghormati kemerdekaan, kedaulatan , kesetaraaan integritas wilayah, dan identitas nasional seluruh Negara anggota Asean. Saat ini Asean telah memiliki Asean Charter (Piagam Asean) yang bertujuan untuk menstranformasikan Asean dari sebuah asosiasi yang longgar menjadi organisasi internasional yang memiliki dasar hukum yang kuat (legal personality), serta memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien. Piagam Asean tersebut ditandatangani pada KTT ke 13 Asean tanggal 20 November 2007 di Singapura oleh 10 Kepala Negara/Pemerintahan Asean. Piagam Asean entry into force (mulai berlaku pada tanggal 15 Desember 2008, 30 hari setelah diratifikasi oleh 10 negara Asean termasuk Myanmar. Dengan meratifikasi Piagam Asean ini 10 negara Asean terikat pada Asean charter.
Isi Piagam Asean menegaskan kembali prinsip-prinsip yang tertuang dalam seluruh perjanjian deklarasi dan kesepakatan Asean. Salah satu tujuan Asean yang berkaitan dengan kasus Myanmar adalah mendorong Negara-negara untuk memiliki mekanisme dan prosedur penyelesaian sengketa yang jelas sehingga mampu menjamin terwujudnya tujuan Asean.
Dalam kasus Myanar Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya proses transisi demokrasi yang inklusif seraya melanjutkankomunikasi dengan semua pihak tentang situasi di Myanmar. Komunikasi yang dilakukan harus dalam kerangka memberikan kontribusi untuk mencari penyelesaian demi keselamatan rakyat Myanmar. Oleh karena itu semua pihak diharapkan dapat menahan diri tidak menggunakan kekerasan agar menghindari pertumpahan darah. Dalam situasi seperti ini diperlukan kondisi yang kondusif berupa trust building , rekonsiliasi dan dialog antara pemerintah Myanmar dan junta militer. Singkatnya Pemerintah Indonesia dan tiga Negara Asean (Malaysia, Singapura dan Thailand) mendesak pihak yang terkait untuk memecahkan masalah pengambil alihan kekuasaan di Myanmar melalui mekanisme hukum dan dialog yang damai. Artinya harus menghormati prinsip Piagam Asean dan Deklarasi HAM Asean (AICHR).
Sebagai Negara yang sudah menjadi pihak pada Piagam Asean maka Myanmar harus mentaati ketentuan yang ada di dalamnya. Ketentuan dalam Piagam Asean tersebut adalah kepatuhan terhadap aturan hukum, tata kelola pemerintahan yang baik, prinsip prinsip demokrasi, perlindungan HAM dan menghormati kebebasan mendasar. Hal ini secara gencar disuarakan oleh Indonesia , Singapura dan Tahiland sebagaimana sudah disampaikan terdahulu..
Beberapa Negara Asean yang lain (Laos, Brunei, Kamboja, , Vietnam, Thailand, Philipina) menyatakanbahwa kasus Myanmar adalah urusan dalam negeri jadi negara lain tidak boleh ikut campur (non interfensi). Sekarang apakah cukup bersikap pasip dengan menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan persoalan dalam negeri Myanmar dan Negara anggota Asean melakukan impunity terhadap kasus tersebut dengan dalih menhormati prinsip non intervensi. Tentu jawabannya adalah tidak karena 9 negara ini juga menyatakan terikat pada Piagam Asean sejak 15 Desember 2008.
Semua Negara Asean seharusnya berharap konflik di Myanmar dapat diselesaikan melalui hukum, sesuai prinsip Asean, diantaranya demokrasi , Hak Asasi Manusia dan pemerintahan yang konstitusional. Sengketa hasil Pemilu seperti yang terjadi di Myanmar dapat diselesaikan melalui lembaga dalam negeri Myanmar yang mempunyai kewenangan. Jika Myanmar juga menghormati Piagam Asean dan 9 negara Asean yang lain juga berpendapat yang sama maka tentunya ASEAN dapat menyelesaikan konflik di Myanmar dan bukan panggang yang jauh dari api. Semoga konflik di Myanmar dapat segera teratasi.
Surabaya 8 Maret 2021
Dr. Atik Krustiyati, S.H.,MS
(Dosen Fak Hukum Universitas Surabaya)