Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” begitu bunyi salah satu amar Putusan MK Nomor 61/PUU-XI/2013, yang dibacakan pada tanggal 18 Maret 2014 oleh YM Hamdan Zoelva (Ketua MK) di ruang sidang pleno. Amar putusan tersebut merupakan jawaban atas perkara permohonan uji materiil oleh Taufiq Hasan atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terkait frasa “hak memilih”. Pemohon pada pokoknya mohon agar “memilih” dalam pemilu bukan sekedar sebagai “hak”, tetapi menjadi “kewajiban” setiap warga negara. Akan tetapi, permohonan tersebut oleh MK dianggap tidak beralasan hukum.
Menurut pendapat Mahkamah, sebagaimana dinyatakan dalam putusan sebelumnya, yaitu Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.”
Pada pokoknya Mahkamah tetap berpendapat, bahwa “hak memilih” merupakan hak warga negara yang bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun sebagaimana dianut dalam prinsip negara hukum. Pemikiran dasar ini perlu ditegaskan, bahwa memilih bukan merupakan kewajiban. Sebab, jika menjadi kewajiban maka negara dapat memaksa dan memberikan sanksi kepada warga negara yang tidak melaksanakan kewajiban untuk memilih.
Lantas siapa saja warga negara yang berhak memilih tersebut? Sebagaimana tertuang pada BAB IV UU Nomor Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum mengenai ketentuan “Hak Memilih”, dalam hal ini pada Pasal 198, warga negara yang berhak memilih adalah sebagai berikut:
1. Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih.
3. Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih.
Berikutnya, di Pasal 199 menyatakan:
“Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
Selanjutnya, pada Pasal 200 juga diberikan ketentuan:
“Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih.”
ASN dan Hak Memilih
Pada prinsipnya setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi ada yang tidak berhak memilih karena belum cukup umur atau karena dicabut haknya dan ada yang sebenarnya mempunyai hak pilih tetapi oleh UU, karena alasan tertentu dilarang) menggunakan hak pilihnya, dalam hal ini TNI/POLRI. Sedangkan, untuk ASN oleh karena tidak ada ketentuan khusus seperti TNI/POLRI, maka dipersamakan dengan warga negara lainnya. Meskipun demikian, sesuai ketentuan Pasal 2 UU No 5 Tahun 2014 “Setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.
Secara empiris, menjaga netralitas ini sering tidak mudah. Realitas menunjukkan keterlibatan ASN dalam dukung mendukung peserta kostestasi marak di medsos dan nyaris tak terkendali. Padahal, netralitas ASN diwajibkan dalam rangka supaya pemilu bisa berjalan secara jujur dan adil. Menyadari potensi parsialitas ASN tersebut, maka diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, setiap ASN dilarang melakukan hal-hal berikut:
• Memasang spanduk/baliho/alat peraga bakal calon peserta pemilu
• Sosialisasi/kampanye media
• Menghadiri deklarasi/kampanye bakal calon peserta pemilu
• Membuat posting, comment, share, like, follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon peserta pemilu.
• Memposting pada media sosial/media lain yang bisa diakses publik
• Ikut dalam kegiatan kampanye/sosialisasi bakal calon peserta pemilu
• Dalam pemilu 2024 nanti, siapa sih yang berhak memilih?
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ada beberapa pasal yang mengatur tentang hak memilih.
Dengan demikian, di satu sisi, ASN dan konteks pemilu ini sama dengan warga negara lainnya, yaitu mempunyai hak suara. Di sisi lain, dalam menggunakan hak pilihnya terdapat rambu-rambu yang harus dipatuhi. Rambu-rambu tersebut tidak hanya berlaku pada aktivitas yang berkaitan dengan kontestan tertentu sebelum pemungutan suara, tetapi juga sikap yang menunjukkan keberpihakan para kontestan. Keberpihakan ASN harus bersifat rahasia dan personal, dalam hal ini dibolehkan memilih salah satu kontestan tertentu saat pemungutan suara berlangsung, tanpa harus ikut serta hiruk-pikuk pada perhelatan apa pun dari salah satu kontestan paslon atau parpol tertentu.
Meskipun, seperti warga negara lainnya, memilih hanyalah bukan sebuah kewajiban tetapi sebagai warga negara yang baik tentu mempunyai tanggungjawab moral untuk peduli terhadap semua urusan bangsa dan negara. Salah satu urusan bangsa dan negara dalam konteks sistem demokrasi yang di anut Indonesia, salah satunya, adalah diselenggarakannya pemilu setiap lima tahun sekali. Dalam konteks ini tampaknya tepat yang disampaikan oleh YM Maria Farida Indrati (salah seorang hakim MK). Menurutnya, walaupun memilih bukan merupakan kewajiban, tetapi menggunakan hak pilih adalah tanggung jawab warga negara untuk ikut menentukan masa depan bangsa dan negaranya dengan memilih pemimpinnya melalui pemilihan umum.
Dengan demikian, meskipun memilih bukan merupakan kewajiban, maka sebagai bentuk rasa tanggung jawab, setiap warga negara yang mempunyai hak pilih, sebaiknya memang tidak golput (sebuah akronim dari “golongan putih” , dalam hal ini untuk menyebut orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya). Apalagi, jika seseorang tersebut berstatus sebagai ASN yang setiap bulan telah mendapat gaji atau fasilitas lainnya dari negara. Dengan tetap mentaati ‘rambu-rambu’ yang ada, setiap ASN yang mempunyai hak suara sebaiknya juga tidak golput. Tujuannya, untuk menjadi contoh warga negara lain, non ASN, agar lebih berpartisipasi pada setiap pemilu yang menjadi agenda wajib konstitusional rutin ini. Pada saat yang sama, jumlah ASN yang cukup signifikan tentu juga telah menjadi sumbangsih tersendiri bagi tingkat partisipasi tersebut.