SURABAYA-beritalima.com, Dwi Purwadi SH MH, hakim pada sidang praperadilan perkara penetapan Lenny Anggraeni sebagai tersangka, menilai bahwa penetapan tersangka atas diri Lenny yang dilakukan penyidik polsek Gubeng bukan suatu tindakan kesewenang-wenangan. Sebab penyidik dan penuntut menggunakan praduga bersalah, sedangkan hakim dalam persidangan akan berusaha membuktikan adanya azas praduga tak bersalah.
“Itu sah, penyidik dan penuntut menggunakan azas praduga bersalah, sedangkan hakim dalam persidangan nantinya akan menggunakan azas praduga tidak bersalah. Ini wajib diketahui para pencari keadilan, agar dikemudian hari tidak asal pra,” ucap hakim Purwadi, Senin (18/12/2017).
Penegasan itu disampaikan Dwi Purwadi saat menjadi hakim tunggal dalam lanjutan sidang praperadilan atas penetapan Lenny Anggraeni sebagai tersangka pada perkara penipuan dan penggelapan sebesar Rp 500 juta yang dilaporkan Valentina Yulianti Raharjo.
Dikatakan Purwadi, fungsi sidang praperadilan sebenarnya adalah untuk melawan pola penyidikan polisi, bukan masuk ke materi perkara.
“Penetapan tersangka hanya membutuhkan dua alat bukti surat yang valid dan relevan saja, sedangkan urusan alat bukti tersebut kredibel dan akurat. Itu nanti diuji dipersidangan. Sebab pada hekekatnya penyidik itu mewakili korban kejahatan atas nama negara.” kata hakim Dwi Purwadi.
Ditambahkan hakim Purwadi, sesuai pasal 148 KUHAP, seseeorang ditetapkan jadi tersangka minimal dengan dua alat bukti yang sah. Setelah itu dia dipanggil sebagai saksi, baru kemudian sah dijadikan tersangka.
“Penyidikan itu ada dasar hukumnya, seorang penyidik boleh melakukan serangkaian penyidikan ketika sudah ada surat perintah penyidikan, setelah terima surat perintah penyidikan harus dibuatkan surat perintah dimulainya penyidikan atau SPDP,” tambahnya.
Sebelumnya, ahli pidana Universitas Bhayangkara Mohamad Solahudin SH MH meyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Leny Anggraini terjadi akibat penyidik bertindak sewenang-wenang dalam proses dan prosedur penyidikannya.
“Administrasinya keliru, dalam KUHAP ada dua hal yakni, harus tertib proses dan tertib prosedur dan tidak boleh bertentangan dengan KUHAP maupun Peraraturan Kapolri (Perkap).” tukas ahli Solahudin menanggapi pertanyaan kuasa hukum pemohon atas apa yang terjadi apabila penyidik menetapkan status tersangka kepada Leny Anggraeni hanya berdasarkan SPDP dan belum dilakukan pemeriksaan sebagai saksi terlebih dulu.
Sementara saksi Elizabeth menerangkan bahwa dirinya pernah diperiksa penyidik polsek Gubeng sebagai saksi atas pelaporan dari Valen, istri dari Salim Himawan, pelapor sekaligus direktur PT Guna Karya Pembangunan karena menggelapakan Bilyet Giro (BG) sebesar Rp 500 juta.
“BG itu diberikan sendiri oleh Salim untuk bu Leny, BG itu diberikan dalam rangka pinjam atau hutang. Ibu Leny itu seorang akuntan keuangan,” terang saksi Elizabeth di persidangan.
Sedangkan saksi Rahcmat Hidayat, mantan pekerja di PT Guna Karya Pembangunan mengakui kalau dirinya pernah menerima uang gaji dari terlapor Leny Anggraeni, kendati dia adalah karyawannya Salim Himawan Saputra.
“Saya pernah terima uang gaji dari Ibu Leny, sebab, saat itu pak Salim masih sibuk dan belum bisa membayarkan gaji karyawan. Setau saya Ibu Leny itu Konsultan Pajak,” aku saksi Rachmat Hidayat.
Untuk diketahui, setelah ditetapkan sebagai tersangka penipuan dan penggelapan uang senilai Rp. 500 Juta Leny Anggreini mengajukan permohonan Praperadilan Nomor : 55/PRAPER/2017/PN.SBY tanggal 30 November 2017.
Pengacara Leny, beranggapan, tuduhan penipuan dan penggelapan uang senilai Rp 500 Juta terhadap kliennya tidak berdasar. Mereka menilai pemanggilan kliennya sebagai tersangka sesuai surat panggilan Nomor : S.PGL/88/XI/2017/RESKRIM tanggal 23 Nopember 2017 yang tercantum 2 laporan polisi adalah tidak benar dan cacat hukum. Dengan alasan pihaknya hanya menerima SPDP untuk Laporan polisi nomor : LP/240/B/IX/2017/JATIM/RESTABES SBY?SEK GBG saja, sedangkan SPDP untuk laporan polisi Nomor : LPB/178/II/2017/JATIM tidak ada. (Han)