ASNLF Peringati 46 Tahun Tragedi Arakundo: Tuntut Keadilan atas Pelanggaran HAM di Aceh

  • Whatsapp

Beritalima.com ( Aliansi Sosial Nasional untuk Pembebasan Aceh (ASNLF) bersama diaspora Aceh menggelar peringatan 46 tahun Tragedi Arakundo (Idi Cut) pada Senin, 3 Februari 2025, pukul 17.00 waktu setempat di Kota Hjørring, Denmark. Acara ini menjadi momen refleksi atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Aceh, serta menyerukan keadilan bagi korban di Maluku Selatan dan Papua Barat.

Koordinator ASNLF Denmark, Muhammad Hanafiah, menegaskan bahwa Indonesia harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang telah terjadi di Aceh, termasuk di Arakundo (Idi Cut). Ia juga menyoroti pola yang sama dalam penindasan terhadap rakyat di Maluku Selatan dan Papua Barat, yang hingga kini masih berlangsung.

“Tragedi Arakundo bukan hanya luka bagi Aceh, tetapi juga mencerminkan penderitaan rakyat di wilayah lain yang mengalami nasib serupa. 46 tahun telah berlalu, namun keadilan masih menjadi impian yang jauh dari kenyataan,” ujar Hanafiah dalam pidatonya.

ASNLF menilai bahwa pelanggaran HAM di Aceh, Maluku, dan Papua bukanlah insiden terisolasi, melainkan bagian dari kebijakan sistematis yang menindas dan mengeksploitasi rakyat di wilayah-wilayah tersebut. Sejak lama, ketiga daerah ini mengalami kekerasan negara, eksploitasi sumber daya alam, serta perampasan hak budaya dan politik.

Dalam orasi politiknya, para aktivis menegaskan bahwa ketika sebuah bangsa gagal melindungi rakyatnya dan menjadikan hukum sebagai alat penindasan, maka satu-satunya solusi yang adil adalah menentukan jalan sendiri. Bagi Aceh, Maluku, dan Papua, mereka meyakini bahwa kemerdekaan adalah solusi terbaik untuk mendapatkan keadilan dan martabat.

“Selama puluhan tahun, kita telah menjadi korban eksploitasi tanpa batas. Kekayaan alam dirampas, budaya dihancurkan, dan hak-hak rakyat diabaikan. Cukup sudah! Kami menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri,” lanjut Hanafiah dengan penuh semangat.

Peringatan ini juga menjadi panggilan kepada komunitas internasional agar lebih memperhatikan situasi HAM di Aceh, Maluku, dan Papua. Para peserta menyerukan agar dunia tidak menutup mata terhadap penderitaan rakyat di ketiga wilayah ini, yang terus berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan.

Para aktivis ASNLF menekankan bahwa tuntutan kemerdekaan bukanlah bentuk kebencian, melainkan langkah menuju kebebasan, keadilan, dan perdamaian. Mereka ingin membangun masa depan yang lebih baik bagi rakyat Aceh, Maluku, dan Papua tanpa intervensi dari kekuatan yang menindas.

“Kami berjuang bukan untuk menciptakan konflik baru, tetapi untuk memastikan bahwa generasi mendatang bisa hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Dunia harus tahu, ini bukan pemberontakan, ini adalah hak kami untuk hidup merdeka,” tambah salah satu orator dalam aksi tersebut.

Dalam aksi tersebut, peserta meneriakkan slogan “Hidup Aceh! Hidup Maluku! Hidup Papua! Merdeka!” sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap ketidakadilan yang mereka alami selama ini. Mereka bertekad untuk terus menyuarakan hak mereka di berbagai forum internasional.

ASNLF berjanji akan terus mengkampanyekan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua, serta mendesak PBB dan organisasi hak asasi internasional untuk mengambil langkah konkret. Mereka yakin bahwa perjuangan ini akan terus berlanjut hingga keadilan benar-benar ditegakkan.

Dengan semangat yang berkobar, mereka menutup acara dengan tekad yang semakin kuat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat di tanah mereka sendiri. “Keadilan tak bisa ditegakkan oleh penjajah. Saatnya kita bangkit dan berdiri di atas kaki sendiri,” tutup Hanafiah.(**)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait