Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Seorang ibu tua tengah duduk lesu ikut memenuhi deretan antrean di sebuah kantor asuransi yang cukup tersohor di negeri ini. Perempuan yang ternyata pensiunan PNS itu sesekali hanya bisa menengok ke kanan ke kiri saat melihat para pengentre pada bicara “ngalor ngidul“ meluapkan kekesalan perihal klaim yang sudah sekian lama tidak kunjung cair. Ada yang hanya jutaan rupiah tapi ada pula yang puluhan juta rupiah, bahkan ada yang ratusan juta. Karena sibuk memikiran nasib klaim msing-masing, mereka pun seolah tidak peduli dengan keberadaan nenek tua dan lupa menanyakannya apakah nenek itu juga mengalami nasib serupa. Saya yang kebetulan duduk di dekatnya memberanikan diri bertanya kepada nenek perihal keperluannya ikutan mengantre.
Dugaan saya memang benar, rapanya si nenek itu mengalami nasib yang kurang lebih sama dengan para pengantre lain. Dia rupanya juga harus mengalami ketidakpastian pengembalian uang pribadinya yang diparkir (semacam deposito) di perusahaan asuransi. Uang pensiun yang ia terima dari PT Taspen, terancam raib bersama ketidakpastian eksistensi perusahaan asuransi yang sebelumnya merayu-rayunya. Sedari tadi rupanya dia juga ingin menyampaikan semacam curahan hati (curhat) tapi, di samping karena merasa malu, perhatian orang pun hanya tertuju kepada petugas yang terkesan ngumpet. Siapa pun yang mendengar curhatan si nenek itu pasti akan iba. Kita bisa membayangkan bagaimana suasana kebatinan sebelum ia mengambil keputusan berani nan spekulatif menaruh uang jaminan hari tuanya. Sebelum mengambil keputusan, pastilah telah banyak masukan dari anak cucu atau jangan-jangan si nenek itu sama sekali malah tidak bilang kepada keluarga besarnya. Bagi nenek itu, kini semua serba dilematis. Ujung-ujungnya jika anak cucunya tidak bijak, pasti akan “nyukurne” atau mempergunjingkan sang nenek dengan berbagai ucapan yang membuat nenek dalam posisi sudah jatuh tertimpa tangga.
Badai Dunia Peransuraian
Derita nenek tadi hanyalah sebuah titik derita jutaan orang pemegang polis asuransi yang terkena musibah gagal bayar. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak sekitar 2010 sampai lebih dari dua dekade berikutnya terdapat sejumlah asuransi ternama mengalami tanda-tanda kehancuran. Sebagaimana ditulis oleh Agustinus Rangga Respati (Kompas.com/15/02/2023) ada 6 perusahaan asuransi (besar) yang mengalami gagal bayar dengan nilai yang sangat fantastis.
Kehancuran asuransi-asuransi besar tersebut jelas disebabkan oleh faktor manusianya. Berdasarkan deskripsi di atas jelas dapat disimpulkan, ada sejumlah mismanajemen. Faktor lain yang tidak kalah penting ialah karena kesalahan penempatan investasi. Setidaknya hal ini penah dikemukakan sendiri oleh Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu. Menurutnya, penempatan dana asuransi pada investasi adalah hal yang fatal terutama di pasar saham. Sebab, harga saham bisa saja turun seketika dan mengakibatkan kerugian yang besar. Di balik tindakan itu pun patut dipertanyakan, mengapa hal itu dilakukan? Apakah para pihak manajemen tidak dapat menghitung atau sebuah kecelakaan murni?
Memang bisa ada sejumlah jawaban mengenai hal itu. Tetapi ada pula dugaan dari sebagian masyarakat yaitu adanya praktik investasi bodong. Kalau dugaan ini benar, maka yang menjadi masalah jelas bukan mengenai mengenai hitungan-hitungan ‘hukum investasi’ melainkan karena sebuah “tindakan kejahatan terselubung”. Investasi bodong tersebut digambarkan oleh para penduga adanya praktik pihak manajemen menginvenstasikan uang kepada sebuah kegiatan usaha fiktif dengan sejumlah bonus yang bisanya diterimakan di muka untuk para oknum manajemen, yang bertindak atas nama perusahan ( atau bisa pribadi? ), selaku pihak investor. Praktik seperti ini bisanya juga dilakukan oleh pihak asuransi tertentu ketika menarik dana nasabah untuk sebuah produk tertentu dengan iming-iming bonus yang diberikan di muka, yaitu hadiah HP, kipas angin, TV, dsb.
Tidak sampai di situ, di balik itu pun terbayang oleh masyarakat, manusia-manusia tamak nan jahat yang tidak memikirkan sama sekali kepentingan nasabah. Perusahaan hancur tidak masalah yang penting bonus triliyunan rupah sudah di tangan. Toh, dengan uang sebanyak itu bisa untuk hidup seribu tahun atau tujuh turunan. Dan, dalam kasus Bumi Putera 1912 pihak manajemen, di sengaja atau tidak, rupanya sudah membuat ‘perangkap regulasi’ dari awal yaitu ‘doktrin’ bahwa AJB Bumiputera adalah milik para pemegang polis, sehingga yang bertanggung jawab atas semua risiko perusahaan adalah juga para anggota sendiri.
Akhirnya apa pun motif dan penyebab kehancuran perusahaan asuransi, akibat gagal bayar tersebut, menimbulkan luka mendalam jutaan para nasabah. Masyarakat pun, khususnya para korban, seolah sudah ”kapok tujuh turunan” sambil bersumpah “tidak akan sekali-sekali berurusan dengan bujuk rayu apa pun yang berkaitan dengan asuransi.” Apakah ‘ancaman’ ini akan menjadi kenyataan. Semua tergantung ‘penampilan’ perusahaan asuransi ke depan.