SURABAYA, Beritalima.com-
Setiap tahun ajaran baru, proses penerimaan siswa baru selalu menimbulkan polemik. Terlebih, setiap ganti menteri pendidikan, ganti pula aturan dan kebijakan yang mereka lakukan.
Tentu saja, hal ini memicu timbulnya berbagai reaksi di masyarakat, terutama bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah.
Kali ini PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) diganti dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Meskipun nyaris sama, tetapi SPMB ini memiliki sangat banyak variabel, sehingga semakin membingungkan para orang tua dan juga para pendidik dalam mensosialisasikan ke masyarakat.
Anggota DPRD provinsi Jatim Dr Rasiyo mengungkapkan, berbagai variabel ini seperti kembali ke tahun ajaran lama. Bedanya variabel yang sekarang diterapkan ini semakin banyak aturannya.
“Kembali ke rayon dan sub rayon, seperti dulu. Cuma saat ini
perbatasan diperluas sampai sub rayon, sehingga nanti kalau perbatasan itu bisa masuk ke sub rayon luar, memang ada kemungkinan bisa diterima di tempat dimana sub rayon itu lebih dekat dengan domisili siswa,” terang anggota komisi E DPRD provinsi Jatim ini.
Mantan Sekretaris Daerah pemerintah provinsi Jatim ini menuturkan, presentase domisili kini ditambah dengan nilai raport dan akreditasi sekolah.
“Termasuk untuk jalur prestasi yang non akademik, seperti olahraga dan lain sebagainya. Kemudian yang mutasi, karena orang tuanya pindah tugas, juga menjadi perhatian, tapi persentasenya kecil. Untuk kriteria-kriteria jalur Afirmasi dari keluarga yang sangat-sangat tidak mampu, juga diperhatikan. Pendaftaran SPMB sekarang juga berbasis AI (Artificial Intelligence). Jadi jika orang tua kurang paham dengan teknologi, sebaiknya mereka dibimbing oleh guru wali kelas dari lembaga pendidikan atau orang yang paham dengan teknologi agar tidak salah mengisi form nya,” sambung politisi partai Demokrat ini.
Rasiyo mengakui, jika SPMB ini terlalu banyak variabel sehingga semakin kelihatan ruwet dan sulit dipahami.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan Jatim ini menyebutkan, mau dibuat aturan seperti apapun, selama infrastruktur sekolah belum memadai dengan kebutuhan siswa, tetap akan menimbulkan dilema.
“Persoalan yang timbul ini harus diselesaikan dengan cara duduk bersama antara pemerintah kabupaten kota dengan pemerintah provinsi. Memang
kewenangan SMA ada di provinsi, tetapi siswa yang mau sekolah itu kan warga kabupaten kota. Mau tidak mau, kabupaten kota juga memiliki tanggung jawab terhadap masa depan warganya. Kabupaten kota harus legowo untuk membuka diri dan berdiskusi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sekolah warganya,” tukasnya.(Yul)







