Jakarta — Mulai Senin besok, tahu dan tempe bakal.menghilang dari pasaran. Pasalnya, para perajin panganan yang paling disukai oleh masyarakat itu kompak menghentikan sementata produksinya sebagai bentuk protes atas mahalnya harga kedelai yang menjadi bahan baku pembuatan tahu tempe.
Rencananya mereka mogok produksi hingga tanggal 23 Pebruari 2022. Harga kedelai saat ini mencapai Rp 11.000 perkilogram..
Menanggapi aksi protes itu, anggota Komisi VIII DPR RI Luluk Nur Hamidah MSi mengatakan situasi seperti ini kerap terjadi setiap tahun. Hal ini karena belum adanya perbaikan yang signifikan terhadap tataniaga kedelai dalam.negeri.
Karenanya Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mendesak pemerintah
melalui Kementerian terkait untuk segera melakukan langkah-langkah strategis agar situasi serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.
Apalagi lanjut Luluk, perajin tempe dan tahu adalah kelompok Usaha mikro dan kecil yang sangat rentan jika terjadi kenaikan harga bahan baku dan terganggunya suplay kedelai
Mengantisipasi hal itu, Luluk minta kepada pemerintah untuk mewajibkan para importir untuk menanam kedelai dalam negeri seperti halnya importir bawang yang diwajibkan menanam di dalam negeri.
Dengan meningkatnya produksi kedelai lokal maka kebutuhan dalam negeri bisa dipasok dengan kedelai lokal. ”Hingga kini kebutuhan kedelai dalam negeri sebagian besar dipasok kedelai impor,”katanya.
Mengutip data Kementerian Pertanian, Luluk mengatakan sekitar 86,4% kebutuhan kedelai di dalam negeri berasal dari impor. Hingga 2020, BPS mencatat impor kedelai sebesar 2,48 juta ton dengan nilai mencapai US$ 1 miliar.
Ada beberapa hal yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor kedelai. Yaitu produksi dalam negeri yang rendah. Bahkan dalam satu dekade terakhir, produksi kedelai nasional cenderung turun dari 907 ribu ton pada 2010 menjadi 424,2 ribu ton pada 2019. Sementara kebutuhan setiap tahun meningkat.
“Memang produksi kedelai lokal kita belum bisa memenuhi kebutuhan domestik, ” kata Luluk.
Namun, menurut legislator dari Jawa Tengah ini, situasi ini dapat diatasi dengan mewajibkan importir menanam kedelai di dalam.negeri. Selama ini.mereka tidak diberi kewajiban apa-apa. Mereka seenaknya menambah impor kalau kebutuhan meningkat.
”Pemerintah harus tegas kepada mereka dan mereka harus punya tanggungjawab terhasap produksi dalam.negeri. Jangan cuma.mencari untung saja tapi tidak ada tanggungjawabnya terhadap ketahanan pangan kita,”kata Luluk.
Para importir ini bisa menggandeng petani lokal. Luluk yakin petani akan bergairan menanam kedelai kalau diajak bermitra. Karena ada jaminan pasar dan harga menguntungksn. Apalagi lahan masih terbuka luas di luar Jawa.
Namun disisi lain pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan yang membuat petani dan importir kedelai bergairan untuk menanamkan kedelai dalam negeri. Misalnya memberi insentif dengan subsidi bibit unggul, pupuk dan saprodi dan lainnya. Sehingga harga produksi mereka bisa kompetitip dengan harga kedelai impor.
”Persoalan kedelai ini kan tergantung political will dari pemerintah. Kedelai impor itu murah kan juga karena disubaidi oleh pemwerintahnya ,”katanya.
Jika kebijakan dan program revitalisasi kedelai dilakukan secara terintegrasi mulai aspek hulu sampai hilir nampaknya sangat prospektif menyelesaikan problem ketergantungan impor kedelai. Jika ketergantungan kedelai impor mengecil, goncangan harga di pasar internasional relatif tidak terlalu menganggu harga kedelai di pasar nasional,” paparnya. (ar)