Jakarta, beritalima.com| – Keberadaan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) ternyata belum ramah untuk saudara kita yang berkebutuhan khusus atau difabel, menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk mewujudkan kota inklusi. Padahal ATM merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk menarik uang tunai.
Uang tunai masih menjadi instrumen penting dalam berbagai transaksi harian, mulai dari belanja kebutuhan pokok, transportasi, hingga keperluan mendesak. Bagi masyarakat umum, menekan tombol ATM hanyalah rutinitas.
Tetapi bagi difabel netra, tunarungu, maupun pengguna kursi roda, setiap langkah menuju mesin digital itu adalah perjuangan. Kemandirian dalam bertransaksi bukan sekadar soal uang, melainkan simbol martabat dan hak dasar yang seharusnya dijamin.
Sejumlah difabel mengungkapkan, kemandirian dalam bertransaksi tunai masih sulit dicapai karena minimnya aksesibilitas. Kendala yang dihadapi seperti untuk yang Netra: pembaca layar jarang tersedia. Bagi Tunarungu, sistem navigasi visual tidak konsisten. Sedangkan pengguna kursi roda: kemiringan mesin menyulitkan, jalur masuk penuh hambatan.
Febri, seorang pengguna kursi roda asal Gianyar, Bali, menuturkan sebagian besar mesin ATM di daerahnya masih tidak ramah bagi difabel. “Kami sering harus meminta bantuan orang lain hanya untuk menarik uang. Rasanya seperti kehilangan hak dasar,” kisahnya.
Ironisnya, kondisi serupa juga terjadi di kota besar seperti Jakarta. Hal ini menunjukkan kebijakan inklusi perbankan belum sepenuhnya diterapkan secara konsisten. Slogan inklusi finansial yang sering digaungkan belum menjawab kebutuhan nyata di lapangan.
Dunia perbankan dan regulator perlu menegakkan standar aksesibilitas yang jelas dan wajib. ATM harus dilengkapi dengan teknologi pembaca layar, tombol timbul yang seragam, desain ergonomis untuk kursi roda, serta jalur masuk bebas hambatan. Audit berkala dan sanksi bagi pelanggaran juga diperlukan agar inklusi tidak berhenti pada wacana.
Perjuangan menuju akses ATM hanyalah satu potret kecil dari upaya besar menuju masyarakat inklusif. Harapannya, gerakan ini tidak berhenti pada slogan, melainkan menjadi komitmen berkelanjutan yang diwujudkan dalam kebijakan, desain, dan tindakan nyata.
Inklusi sejati adalah ketika setiap orang – tanpa kecuali – dapat berdiri tegak, menekan tombol, dan menarik uangnya sendiri dengan penuh martabat. Perlu kolaborasi lintas kementerian/lembaga plus Pemda untuk muwujudkan ATM yang ramah difabel.
Jurnalis: abdul hadi (difabel netra)/abri








