Badan Akuntabilitas DPD RI Soroti Meningkatnya Pengaduan Masyarakat

  • Whatsapp
Badan Akuntabilitas DPD RI soroti meningkatnya pengaduan masyarakat (foto: DPD)

Jakarta, beritalima.com| – Badan Akuntabilitas Publik (BAP) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI soroti banyaknya kasus pengaduan masyarakat yang belum terselesaikan secara tuntas, terutama terkait konflik agraria, hak atas tanah, dan maladministrasi di daerah.

BAP DPD RI menilai, meski berbagai rekomendasi telah dikeluarkan, tindak lanjut dari kementerian dan lembaga terkait masih dinilai belum optimal, sehingga persoalan publik terus berlarut tanpa kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.

Ketua BAP DPD RI Ahmad Syauqi Soeratno menyampaikan, hingga masa sidang 2024-2025, pihaknya telah menerima dan menindaklanjuti 56 pengaduan masyarakat yang mayoritas berkaitan dengan sengketa lahan, konflik agraria, kompensasi lingkungan, dan pelanggaran hak masyarakat adat. Dari jumlah tersebut, BAP telah mengeluarkan 13 rekomendasi resmi yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPD RI dan disampaikan kepada kementerian serta lembaga terkait untuk ditindaklanjuti.

“BAP DPD RI telah melakukan monitoring secara berkelanjutan, di mana beberapa rekomendasi DPD RI tersebut justru tidak dilaksanakan dan menyebabkan permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat menjadi berlarut-larut,” ujar Syauqi, Senator dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan stakeholders terkait penyelesaian aduan masyarakat di DPD RI (5/11).

Syauqi menjelaskan, kondisi tersebut menunjukkan mekanisme penyelesaian pengaduan masyarakat masih belum efektif dan memerlukan sinergi lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah. Ia menekankan perlunya koordinasi lintas kementerian agar penanganan pengaduan publik dapat bersifat konkret dan berdampak langsung.

“BAP DPD RI mendorong agar kementerian dapat melakukan monitoring lebih ketat terhadap situasi yang berkembang di lapangan dan mengambil tanggung jawab membuat kebijakan untuk segera menyelesaikan pengaduan dari masyarakat,” terangnya.

Dalam RDPU yang dihadiri perwakilan dari Kementerian ATR/BPN, Kementerian Investasi/BKPM, Kementerian ESDM, Kementerian LHK, serta beberapa perwakilan masyarakat dari daerah yang mengadukan ke BAP DPD RI ini, Ahmad Syauqi memaparkan sejumlah data nasional yang menunjukkan masih tingginya potensi konflik agraria di Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sepanjang tahun 2024 tercatat 5.973 kasus pertanahan, sedangkan Ombudsman RI menerima lebih dari 10.000 laporan maladministrasi, di mana sebagian besar berkaitan dengan masalah agraria dan layanan publik daerah.

Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya 295 kasus konflik tanah yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia sepanjang tahun 2024. Angka ini memperlihatkan bahwa penyelesaian persoalan agraria masih menghadapi kendala koordinasi antarlembaga dan lemahnya tindak lanjut kebijakan di lapangan.

“Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga jati diri, warisan budaya, dan simbol kedaulatan bagi masyarakat Indonesia. Karena itu, perlindungan hak atas tanah, penyelesaian sengketa agraria, dan kebijakan yang adil sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial dan pembangunan berkelanjutan,” ucap Syauqi.

Senada, Wakil Ketua BAP DPD RI Yulianus Henock Sumual menekankan urgensi percepatan penyelesaian berbagai pengaduan masyarakat. Ia menilai setiap laporan masyarakat yang masuk merupakan permasalahan mendesak yang harus dikawal dengan serius agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum maupun sosial di daerah.

Dalam forum RDPU, sejumlah anggota DPD RI menyampaikan berbagai persoalan di daerah mereka. Misalnya Anggota DPD RI dari Aceh Darwati A Gani mengungkapkan permasalahan di Kecamatan Putri Betung, Gayo Lues, di mana terdapat desa yang diklaim masuk kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser. Warga yang telah tinggal turun-temurun kini dilarang menggarap lahan, meski kegiatan mereka selama ini tidak merusak lingkungan.

Sementara Anggota DPD RI dari Nusa Tenggara Timur (NTT) Maria Stevi Harmani menyinggung masalah pertanahan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi konflik horizontal. Sebanyak 200 kepala keluarga di NTT dilaporkan memiliki sertifikat tanah tanpa kejelasan lahan yang dimaksud.

Jurnalis: rendy/abri

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait