Oleh: Saiful Huda Ems
Sebelumnya penulis memohon maaf jika kiranya judul tulisan ini terdengar vulgar dan terkesan melecehkan, meski sebenarnya penulis tidak bermaksud demikian, melainkan hanya sebagai bentuk kritikan keras penulis pada tim kuasa hukum Paslon 02 yang biasanya juga sangat akrab dengan bahasa-bahasa seperti itu. Jadi katakanlah ini semacam usaha penulis untuk menciptakan keseimbangan bahasa, karena barangkali dengan cara ini mereka segera menyadari kecerobohannya sebagai lawyer, akademisi atau kaum intelektual yang selama ini lari dari tanggung jawab moralnya.
Dalam jiwa seorang advokat itu haruslah tertanam kesadaran, bahwa mereka bukan hanya dituntut untuk cakap, piawai dalam beracara di pengadilan, melainkan juga harus mengerti, memahami dan memperhatikan secara baik etika profesinya sebagai advokat. Jadi tidak boleh seorang advokat atau ketua tim kuasa hukum Paslon 02 secara sembarangan melecehkan martabat lembaga peradilan dengan mengatakan,”Mahkamah Konstitusi (MK) jangan jadi Lembaga Kalkulator”. Pernyataan seperti itu sangatlah tidak etis dan termasuk tindakan pidana yang digolongkan sebagai contempt of court, atau penghinaan terhadap pengadilan.
Berikutnya, penulis menyebut mereka Tim Kuasa Hukum Paslon 02 sebagai Badut-Badut, karena dalam kenyataannya persoalan yang sedemikian besar dihadapinya, yang memaksa jutaan warga negara Indonesia bahkan dunia memperhatikannya, yakni gugatan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dijadikannya seperti panggung lelucon, meskipun kadang penulis juga masih ragu apa yang sebenarnya terjadi, mereka itu sebenarnya ingin membuat rame suasana dengan lucu-lucuan, ataukah sebenarnya mereka ini memang aslinya benar-benar tidak mengerti hukum acara di MK?
Renungkan, mereka sebelumnya telah menuduh bahwa Paslon 01 (Jokowi-MA) telah melakukan kecurangan pemilu yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM), dan mereka menyatakan akan membawa bukti kecurangan itu sampai 12 truk yang siap akan disampaikan. Namun dalam faktanya di dalam proses sidang PHPU di MK hari ini (14 Juni 2019) bukti fisik yang diklaim sampai 12 truk itu tidak ada. Bambang Widjojanto sebagai ketua tim kuasa hukum Paslon 02 (Prabowo-Uno) saat ditanyakan mengenai bukti itu oleh hakim ketua MK hanya menjawab dengan berkelit, bahwa ada 12 truk bukti yang siap akan disampaikan, namun karena sopir truknya lelah maka belum bisa diserahkan ke MK. Sekali lagi coba renungkan, betapa konyolnya alasan ketua tim kuasa hukum Prabowo-Uno ini.
Selisih 17 juta suara yang disengkatakan dalam gugatan sidang PHPU di MK ini tidaklah akan mudah dibuktikan, kecuali pihak Prabowo memelihara Jin yang bisa mengumpulkan bukti secara kilat dan lengkap, oleh karena itu tim kuasa hukumnya gagap dalam bersidang dan semakin tergelincir dalam pamer kebadutan jika tidak ingin dikatakan pamer kebodohan. Mereka seperti tidak bisa membedakan tugas, fungsi dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan KPU dan BAWASLU, akibatnya mereka mengira MK berwenang untuk mengadili dan memutuskan perkara pelanggaran PEMILU yang bersifat TSM.
Mereka memaksa MK untuk memutuskan perselisihan hasil PILPRES berdasarkan permohonan yang diajukannya (Paslon 02), yang mendalilkan telah terjadi pelanggaran PILPRES yang bersifat TSM itu. Mereka tidak mengerti, bahwa ketentuan Pasal 463 UU No.7 Tahun 2017 Tentang PEMILU dimana MK tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pelanggaran PEMILU, karena hal itu telah menjadi kewenangan dari BAWASLU. MK hanya berwenang untuk mengadili perselisihan penetapan perolehan suara hasil PILPRES yang dapat mempengaruhi hasil PILPRES, maka setelah mereka menyadari hal itu mereka membuat teriakan yang baru, yakni memohon pada MK untuk mendiskualifikasi Capres atau Cawapres, yang lagi-lagi itu permohonan konyol karena hal itu bukanlah kewenangan MK.
Tak hanya kekonyolan seperti yang telah penulis uraikan di atas, dalam sidang hari ini di MK lagi-lagi kita sebagai advokat –apalagi para Hakim MK nya– juga dibikin geleng-geleng kepala dengan inkonsistensi Petitum (tuntutan yang diminta oleh penggugat kepada hakim untuk bisa dikabulkan) yang diajukan oleh pihak pemohon (Tim Kuasa Hukum Paslon 02). Pada Petitum pertama mereka memohon supaya pemungutan suara ulang agar diulang di seluruh TPS, yang tentunya bakal terjadi lagi kematian masal karena lelahnya para petugas KPPS di lapangan, namun pada Petitum kedua mereka memohon pemungutan suara ulang cukup dilakukan pada wilayah Jokowi-MA menang, sedangkan di tempat atau daerah Prabowo-Uno menang tidak perlu ada pemungutan suara ulang.
Beruntung para hakim MK nya terdiri dari orang-orang yang cerdas, sabar, arif dan bijaksana serta berpengalaman, tidak bermental temperamental seperti Capres sebelah yang mudah marah dan ngambekan, hingga hakim MK memutuskan untuk mempersilahkan mereka agar melengkapi argumentasi dan dokumentasi yang dibutuhkan untuk mengikuti sidang berikutnya di hari Selasa 18 Juni 2019. Beruntung pula tim kuasa hukum termohon (KPU) dan pihak terkait yaitu tim kuasa hukum Jokowi-MA seperti Pak Yusril Ihza Mahendra, Pak Teguh Samudera, Pak I Wayan Sudirta dll. merupakan orang-orang yang sabar dan tenang dalam mengikuti persidangan, dan rileks dalam menghadapi tim kuasa hukum Prabowo-Uno. Bayangkan kalau yang ada disana para advokat petarung berdarah muda seperti penulis dkk. lainnya, akan seperti apa nasib tim kuasa hukum Prabowo-Uno.
Kemangan Paslon 01 Jokowi-MA itu sudah semakin tampak terang benderang, meski demikian kita harus tetap bersabar menunggu sampai keputusan hakim MK ini benar-benar final dan mengikat. Mari kita semua panjatkan doa dan terus memberi support moril untuk kesuksesan para hakim MK dan tim kuasa hukum termohon (KPU) dan Pihak Terkait, yaitu tim kuasa hukum Jokowi-MA dan BAWASLU. Merdeka !…(SHE).
Jakarta, 14 Juni 2019.
Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan Penulis.