Denny JA
Bagaimana jika seruan PSBB Total di DKI Jakarta, yang dimulai tanggal 14 September 2020 tidak dipatuhi publik? Karena desakan ekonomi, publik tetap bekerja mencari nafkah. Hidup semakin sulit.
Katakanlah kebijakan PSBB total itu akan dikawal ketat. Yang tak mematuhi akan dihukum. Bagaimana jika publik melawan. Desakan ekonomi membuat mereka tak gentar?
Bagaimana jika dihukum, ini justru akan memulai tahap baru kemarahan publik? Krisis kesehatan, melalui krisis ekonomi, mudah memicu krisis politik?
Bagaimana jika kebijakan PSBB total berujung pada kerusahan di Jakarta? Lalu meluas ke banyak bagian Indonesia?
Apalagi para menteri Jokowi mengkritik kebijakan Anies tersebut. Mulai dari komando tertinggi ekonomi dan penanganan covid-19 pusat: Airlangga Hartarto secara gamblang menyatkan keberatannya.
Tak hanya Menko ekonomi, juga Menteri Perdagangan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan Wakil Menteri Luar Negri secara terbuka menyampaikan kritik.
Suasa psikologis publik masa kini, 7 bulan setelah pandemik, berbeda dengan masa awal. Berbagai riset, dalam dan luar negeri, menyatakan lebih banyak yang takut dengan kondisi ekonomi ketimbang covid-19:
PSBB total pasti kembali membuat ekonomi semakin terpuruk. Ekonomi yang mulai memggeliat bangkit, yang dengan susah payah dibangun, bisa ambruk lagi.
Tapi bagaimana dengan corona virus yang terus menular? Bukankah ini juga berbahaya?
Di sinilah peran leadership. Yaitu bagaimana mencari keseimbangan isu kesehatan versus isu kesulitan ekonomi.
PSBB total itu satu pilihan. Tapi PSBB sektoral, yang lebih selektif, juga pilihan lain.
Siapapun yang di posisi gubernur Anies Baswedan akan kesulitan memilih.
Siapapun yang di posisi presiden RI juga akan kesulitan merespon pilihan gubernur.
Akankah Presiden melalui prosedurnya membatalkan PSBB Total DKI yang dimulai 14 September 2020?
Tujuh bulan setelah pandemik, Corona Virus tak hanya menjadi masalah kesehatan. Ia juga sudah menjadi masalah ekonomi. Juga masalah pertarungan politik.***
Sept 2020