JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr H Mulyanto mengingatkan Pemerintah dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo agar tidak longgar dalam memberlakukan ketentuan impor terkait produk pertanian.
Karena itu, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Pembangunan dan Industri tersebut mendesak Pemerintahan Jokowi jangan mau didikte World Trade Organization (WTO) alias Badan Perdagangan Dunia dalam menetapkan aturan impor pangan yang dicantumkan dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
“Kepentingan nasional dan perlindungan terhadap petani harus tetap yang utama dan dipertahankan. Kebijakan politik Indonesia siapapun presidennya, harus mendahulukan pangan dalam negeri dan menjadikan impor sebagai komplementer.Impor hanya dilakukan jika kekurangan produksi dalam negeri,” ungkap Mulyanto kepada Beritalima.com di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (4/9) pagi.
Anggota Komisi VII DPR RI itu menambahkan, liberalisasi perdagangan jangan sampai menggilas nasib petani Indonesia karena sekali petani frustasi dan tak mau lagi menanam produk yang dibutuhkan, selamanya bangsa ini menjadi pengimpor semua produk pertanian.
Ini menjadi perhatian serius Fraksi PKS, karena pada pasal-pasal RUU Ciptaker yang mengubah, menghapus dan menambahkan norma terkait dengan UU Pangan baik UU Hortikultura, UU Peternakan, UU Budidaya Pertanian, UU Pemberdayaan Petani dan lain-lain terlalu longgar serta adaptif terhadap tekanan WTO, khususnya terkait soal impor pangan.
“Karena itu, Fraksi PKS di Baleg DPR RI mengupayakan, agar ketentuan RUU Omnibus Law Ciptaker tersebut tetap mengedepankan kedaulatan pangan bangsa Indonesia dan mengamankan produk pertanian lokal yang ujungnya juga akan berdampak pada kesejahteraan petani kita,” tegas Mulyanto.
Sebelumnya, panel WTO memutuskan, Indonesia telah melanggar aturan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994, yakni larangan penggunaan pembatasan dan pelarangan ekspor ataupun impor berdasarkan gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru.
Hal itu dibuktikan panel secara eksplisit. Menurut mereka pelarangan tersebut ada dalam undang-undang dan peraturan turunannya. Untuk itu Indonesia harus melakukan penyesuaian UU dimaksud termasuk peraturan turunannya dengan pengaturan WTO. Bila tidak, diperkirakan Amerika akan menggugat (retaliasi) dengan nilai kerugian diperkirakan Rp.10 triliun/tahun.
Disamping itu, juga bakal menghambat ekspor produk Indonesia yang masuk ke negera mereka. Namun, kata wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten itu, Indonesia tidak boleh kalah dari berbagai tekanan perdagangan internasional ini.
Soal kedaulatan pangan adalah harga mati. Ini tidak bisa-ditawar-tawar lagi.Impor tidak boleh dilakukan pada saat musim panen dan produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan Indonesia.
Pembelaan dan perlindungan politik kita kepada petani adalah melalui pemihakan kita pada produk pangan domestik. “Karenanya, perlakuan atas produk dalam negeri dan produk impor jelas akan berbeda, sebab ini adalah bentuk dari pemihakkan tersebut.
Untuk itu, kita harus menggunakan seluruh instrumen perdagangan yang kita miliki untuk membela kedaulatan pangan kita,” tandas mantan Irjen Departemen Pertanian periode pertama era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyomo (SBY) tersebut.
Disamping itu, kata Mulyanto, rumusan pasal-pasal dalam RUU Ciptaker harus disesuaikan sedemikian rupa, sehingga tetap menjaga ruh pemihakkan terhadap petani dan kedaulatan pangan nasional dan tetap tidak bertentangan dengan aturan WTO.
“Ini kan soal ‘wording’ yang bagus, soal substansi mestinya tidak berubah. Secara politik, soal sikap pembelaan kita pada kepentingan nasional dan kedaulatan pangan nasional kita, tidak akan berubah”, demikian Dr H Mulyanto. (akhir)