Bahasa Indonesia di Meja Hijau

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim PTA Banjarmasin)

Opini, beritalima.com | Beberapa waktu lalu, bangsa ini kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda. Pada peringatan ke-97 tahun itu, kita kembali diingatkan pada ikrar suci para pemuda tahun 1928: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Kalimat itu sederhana, tapi mengandung makna yang mendalam — bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jiwa persatuan bangsa.

Pengakuan itu kemudian menguat dalam konstitusi. Pasal 36 UUD 1945 dengan tegas menyatakan: “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia.” Maka, berbahasa Indonesia bukan hanya urusan tata krama, melainkan juga bentuk kepatuhan terhadap amanat konstitusi. Bahasa Indonesia adalah lambang jati diri bangsa yang harus dijaga di segala lini — termasuk di dunia hukum dan peradilan.

Bahasa Indonesia telah melalui perjalanan panjang. Ia lahir dari rahim pergaulan antaretnik, dibentuk oleh semangat kebangsaan, dan tumbuh bersama kesadaran akan kemerdekaan berpikir. Prof. Sutan Takdir Alisjahbana pernah berkata bahwa “Bahasa adalah alat utama kemajuan pikiran manusia. Dengan bahasa yang teratur, pikiran pun akan teratur.”
Kalimat ini mengingatkan kita, bahwa kualitas berpikir suatu bangsa — bahkan kualitas keadilannya — dapat diukur dari ketertiban bahasanya.

Namun, jika kita menengok dunia peradilan hari ini, terkadang kita menemukan hal yang sebaliknya.

Dokumen hukum yang disusun tergesa-gesa, kalimat dalam putusan yang panjangnya berliku-liku, ejaan yang acap kali melenceng dari kaidah baku. Kata “dirubah” masih sering muncul menggantikan “diubah”, “isteri” masih bertahan padahal mestinya “istri”, dan “subyek” masih menolak berubah menjadi “subjek.”

Hal-hal kecil seperti ini sering luput dari perhatian, tapi dalam dunia hukum, setiap kata memiliki bobot makna. Kesalahan satu huruf bisa mengubah tafsir, bahkan menimbulkan kekeliruan hukum.

Bahasa hukum mestinya menjadi cerminan ketelitian berpikir. Sebab di balik setiap kalimat dalam putusan, tersimpan tanggung jawab moral dan intelektual. Bahasa yang tertata baik bukan hanya soal estetika, tetapi soal ketepatan makna dan ketegasan logika.
Di sinilah pentingnya kembali mengingat pesan Prof. Anton Mulyono yang menulis:

“Bahasa Indonesia adalah lambang kebanggaan nasional, sarana pemersatu bangsa, dan alat komunikasi yang memungkinkan setiap warga negara memahami hukum dan pemerintahan.”
Jika bahasa di dunia hukum menjadi kacau, maka saluran komunikasi antara hukum dan rakyat pun akan kabur.

Memang, ada istilah-istilah hukum yang belum memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia. Namun bahasa kita cukup arif: istilah asing masih bisa digunakan, asalkan dicetak miring (italic), tanda bahwa ia belum diserap secara resmi. Bahasa Indonesia tidak menutup diri, tapi tetap menegakkan kaidah. Di sinilah keluwesan dan keagungan bahasa nasional kita.

Maka, di momentum Sumpah Pemuda ini, barangkali dunia hukum perlu melakukan ijtihad kebahasaan — memperbarui komitmen untuk setia pada bahasa persatuan. Mari kita jaga Bahasa Indonesia di ruang sidang, di naskah putusan, di berita acara, dan di setiap kalimat hukum yang kita tulis. Sebab keadilan tidak hanya tegak melalui hukum yang benar, tetapi juga melalui bahasa yang jernih dan tertib.

Akhirnya, memperlakukan Bahasa Indonesia dengan hormat berarti juga menjaga martabat hukum itu sendiri. Karena sejatinya, kata-kata juga menjadi bagian wajah keadilan.

 

beritalima.com

Pos terkait