Baleg Fraksi PKS Nilai RUU Cipta Kerja Banyak Pangkas Kewenangan Daerah

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menilai konten Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) yang sedang dibahas Badan Legislasi (Baleg) banyak yang kontroversial.

Salah satun dari sekian banyak yang merugikan buat tenaga kerja lokal dan daerah itu adalan soal pengurangan bahkan penghilangan kewenangan Pemerintah Daerah, termasuk perijinan. Padahal, ungkap anggota Baleg Fraksi PKS, Dr H Mulyanto M.Eng, Minggu (10/5), soal kewenangan, tugas dan fungsi Pemerintah Daerah sudah diatur secara baik dalam UU No: 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Mulyanto yang juga Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Industri dan Pembangunan itu menilai, beberapa pasal dalam RUU Ciptaker berpotensi merusak prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang merupakan amanat dari reformasi. Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengistimewakan pengusaha dan investor untuk melakukan usaha di berbagai daerah melalui cara mengurangi bahkan menghilangkan peran Pemerintah Daerah.

Karena itu, Mulyanto khawatir jika ketentuan baru itu jadi diberlakukan akan menimbulkan masalah baru di berbagai daerah. Daerah merasa tidak bertanggung jawab, lepas tangan, lalu mandeg semua proses. Ini soal serius. Salah satu eksperimen negara pasca reformasi adalah menata dan merumuskan ulang pola hubungan pusat-daerah.

Dengan beberapa kali revisi UU terkait Pemerintahan Daerah (UU No. 23 tahun 2014) dan implementasi di lapangan, kita mulai mendapatkan formula yang tepat terkait hubungan pusat-daerah,” kata legislator Dapil III Provinsi Banten tersebut.

Karena itu, lanjut Mulyanto, untuk menjaga capaian ini, serta keseimbangan harmonis hubungan pusat-daerah adalah sebuah langkah penting dan strategis dalam mengelola demokrasi di nusantara ini. Hal ini tidak boleh disepelekan,” tegas Mulyanto.

Mantan Sekretaris Menteri Riset dan Teknologi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tesebut melihat ada beberapa aturan dalam RUU Ciptaker yang terkesan terlalu memanjakan pengusaha dan memarjinalkan Pemerintah Daerah.

Diantaranya, kata Mulyanto, dihapuskan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Pemda dalam penyelenggaraan urusan konkuren, hilangnya kewenangan Pemda dalam penyelenggaraan tata ruang daerah, ditariknya kewenangan daerah seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), penyelenggaraan kegiatan minerba, pengelolaan kepariwisataan.

Selain itu juga dikuranginya kewenangan Pemda dalam pengelolaan wilayah pesisir, dihilangkan kewenangan dalam pembinaan, pengelolaan data terintegrasi usaha perkebunan. Kewenangan Pemda juga berkurang dalam sektor transporasi, Sumber Daya Air (SDA), jasa konstruksi, perumahan dan kawasan pemukiman, rumah susun. Kewenangan Pemda terkait penyelenggaraan pasar rakyat, swalayan, perkulakan akan dihilangkan.

Selain itu peran Pemda sebagai salah satu penyelenggara kelistrikan dan BUMD usaha penyediaan tenaga listrik dihapuskan. Terkait perizinan, RUU Ciptaker ini, menghapus kewenangan Pemda hampir di semua sektor dalam 11 klaster. RUU Ciptaker.

Tidak ada lagi kewenangan Pemda dalam pemberian izin pemanfaatan ruang, transportasi, Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), pengelolaan limbah berbahaya (B3) penanaman modal, usaha perkebunan, pertambangan minerba.

“Dalam konteks berdemokrasi, aturan dalam RUU Ciptaker ini berbahaya karena sangat sentralistik. Dan itu bertentangan dengan semangat reformasi yang kita perjuangkan. Pembangunan negeri Nusantara yang luas ini memerlukan peran daerah melalui pendekatan otonomi dan desentralisasi, bukan sebaliknya,” Mulyanto.

Inisiator Wilayah Bebas Korupsi (WBK) di Departemen Pertanian ini tidak tahu persis apakah para gubernur, wali kota, dan bupati serta asosiasi terkait pemerintahan daerah sudah mendalami masalah ini.” Jangan sampai kita set back, bereksperimen lagi untuk mencari keseimbangan baru hubungan pusat-daerah,” tegas Mulyanto.

Karena itu, Pemerintahan Jokowi menunda pembahasan RUU Ciptaker selama masa darurat pandemi Covid 19 belum selesai karena RUU lebih dari 1.000 halaman dan menghapus lebih 100 UU ini harus dibahas secara komprehensif dengan melibatkan banyak pihak. Tidak bisa hanya dibahas Pemerintah dengan DPR yang mayoritas dari patai pendukung Pemerintah.

Menurut mantan Inspektur Jenderal Departemen Pertanian ini, RUU juga harus dibahas secara langsung tatap muka, bukan secara virtual menggunakan sarana komunikasi daring yang hanya dapat diikuti kalangan terbatas, agar setiap argumentasi dapat dibahas secara objektif dan mendalam.

“Jika kita tidak seksama membahas pokok masalah tersebut, maka kita hanya akan menuai kondisi ketidakmampuan Negara mengayomi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ini tentu tidak kita kehendaki,” demikian Dr H Mulyanto M.Eng. (akhir)

 

beritalima.com

Pos terkait