JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mendukung langkah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) membentuk Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mapilu).
Soalnya, keaktifan berbagai elemen bangsa dalam memantau jalannya Pemilu bakal berdampak positif terhadap perkembangan demokrasi di Tanah Air. Pers yang tersebar sampai ke pelosok desa, merupakan kekuatan sosial yang harus dimanfaatkan dalam memantau jalannya Pemilu.
“Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu menjalin kerjasama dengan pers,” kata Ketua DPR saat menerima perwakilan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Pusat), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Dewan Pers, Rabu (16/1).
Hadir dalam pertemuan itu Ketua Umum PWI Pusat Atal Depari, Mirza Zulhadi (Sekjen), Abdul Aziz (Ketua Bidang Luar Negeri), Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana, Ratna Komala (Wakil Ketua), anggota Dewan Pers Agus Sudibto dan Ketua Bidang Diklat, Kompetensi, dan Sertifikasi IJTI Jamalul Insan. Ketua DPR ditemani Masinton Pasaribu dan Ahmad Sahroni.
Politisi senior Partai Golkar mengatakan, selain KPU dan Bawaslu, masyarakat juga bisa memanfaatkan pers sebagai ‘mata elang’ yang bisa melihat bagaimana pelaksanaan Pemilu di lapangan. Dengan demikian para peserta Pemilu maupun kandidatnya akan menjalankan kampanye sesuai aturan.
Pada sisi lain, kata laki-laki yang akrab disapa Bamsoet ini, pers juga harus memperkuat independesi dirinya dalam menyajikan pemberitaan. Jangan ada berita bohong atau hoax diantara kita.
“Yang benar katakan benar, yang salah katakan salah. Jangan ada framing dengan narasi yang bombastis sehingga mengaburkan fakta dan membuat masyarakat bingung dalam menilai sebuah kejadian,” tutur Bamsoet.
Sebagai mantan wartawan, Bamsoet yang kini juga menjabat sebagai Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini memahami betul tekanan, bahkan ancaman, yang dihadapi insan pers. Ada saja pihak yang menggunakan berbagai kekuatan untuk mengintervensi sebuah pemberitaan.
“Pers harus senantiasa memegang teguh prinsip bahwa menyajikan sebuah fakta lebih penting ketimbang mengembangkan bisnis media. Pers harus senantiasa menjadi watchdog untuk menjaga iklim demokrasi tetap kondusif. Bukan malah menjadi bagian yang merongrong demokrasi,” tegas Bamsoet.
Dalam pertemuan itu, Bamsoet mendukung usulan Dewan Pers, PWI dan IJTI tentang perlunya regulasi untuk membuat kehidupan media sosial menjadi lebih bertanggungjawab.
Tidak seperti saat ini, kehidupan di media sosial seperti hutan rimba yang tidak jelas aturannya. Akibatnya, hoax, ujaran kebencian, maupun tindakan kejahatan digital lainnya bisa bebas berkeliaran di semua platform media sosial (sosmed).
“Jika ini terus dibiarkan, bisa-bisa bangsa kita hanya sibuk saling memfitnah satu sama lain. Memang sudah waktunya ada aturan yang jelas untuk membuat pengelola serta pengguna media sosial lebih bertanggungjawab.”
Di Jerman, lanjut Bamsoet, sudah ada UU tentang media sosial, Enforcement on Social Networks (NetzDG) yang dibentuk Juni 2017. Keberadaan UU itu salah satunya untuk memerangi maraknya ujaran kebencian di media sosial. “Bahkan, situs dan platform yang menyajikan berita hoax di enda hingga 50 juta euro,” jelas Bamsoet.
Wakil rakyat dari Dapil VII Provinsi Jawa Tengah ini menyambut baik adanya usulan meningkatkan pendapatan negara melalui penarikan pajak terhadap pemuatan iklan digital di berbagai website.
Tidak hanya itu, penyedia layanan digital over the top seperti Google, Youtube, Facebook, Twitter yang beroperasi di Indonesia bisa dijadikan sebagai wajib pajak.
“Saat ini pemerintah mulai mengkaji menarik pajak dari e-commerce melalui Permenkeu 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
“Diharapkan peraturan yang efektif per 1 April 2019 ini bisa membuat ekosistem e-commerce di tanah air menjadi lebih sehat. Perlu dukungan pers untuk mensosialisasikan dan mensukseskannya,” demikian Bambang Soesatyo (akhir)