JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memahami keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta ditunda pengesahan empat Rancangan Undang-Undang (RUU).
DPR melalui forum Badan Musyawarah (Bamus) kemarin dan forum lobi, Selasa (24/9) sepakat untuk menunda RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Lembaga Permasyarakatan.
“Diberikan waktu kepada DPR RI maupun pemerintah untuk mengkaji dan mensosialisasikan kembali secara masif isi dari kedua RUU tersebut agar masyarakat lebih bisa memahaminya,” kata politisi senior Partai Golkar itu kepada awak media, Selasa (24/9).
RUU lainnya yakni RUU Pertanahan dan RUU Minerba masih dalam pembahasan pada tingkat I dan belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan.
Terkait dengan pengesahan RUU KUHP yang ditunda sudah disampaikan dalam rapat konsultasi Presiden dengan Pimpinan DPR RI di Istana Negara, Senin (23/9).
Pada kesempatan itu, pimpinan DPR RI didampingi Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Komisi III DPR RI. Dalam pertemuan itu disepakati, untuk menunda sesuai dengan mekanisme, prosedur dan tata cara yang ada di DPR karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan, “setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, maka setiap RUU tidak bisa disahkan menjadi UU”.
“Karena ditunda, DPR RI bersama pemerintah akan mengkaji kembali pasal per pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang menjadi sorotan publik. Sambil juga kita akan gencarkan kembali sosialisasi tentang RUU KUHP sehingga masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tak salah tafsir apalagi salah paham menuduh DPR RI dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat,” kata dia.
Wakil rakyat dari Dapil VII Provinsi Jawa Tengah itu mengatakan, pada dasarnya penyusunan RUU KUHP sudah melibatkan berbagai profesor hukum dari berbagai universitas, praktisi hukum, maupun lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan sehingga keberadaan pasal per pasalnya yang dirumuskan bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Pembahasan RUU KUHP yang dimulai sejak 1963 sudah melewati masa tujuh kepemimpinan Presiden dengan 19 Menteri Hukum dan HAM. “Kita sebenarnya sudah berada diujung. Jika saat ini terjadi berbagai dinamika di masyarakat, sepertinya ini lebih karena sosialisasi yang belum massif,” kata pria yang akrab disapa Bamsoet ini.
Walaun pada kenyataannya selama ini DPR RI melalui Komisi III telah membuka pintu selebarnya dalam menampung aspirasi. Para anggota DPR RI juga membawa aspirasi dari konstituennya.
“Memang tidak semua aspirasi bisa diterima, karena itu kita libatkan berbagai profesor hukum dengan berbagai kepakaran untuk meramu formulasi terbaik,” tutur Bamsoet.
Walau RUU KUHP ini ditunda DPR dan Pemerintah, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini berharap RUU KUHP ini tetap menjadi catatan sejarah dalam perjalanan bangsa ini.
Soalnya, seluruh sumber daya dan pemikiran telah tercurah dari para profesor, ahli, dan praktisi hukum seperti Prof. Muladi, maupun yang sudah wafat seperti (alm) Prof Soedarto, (alm) Prof Roeslan Saleh dan (alm) Prof Satochid Kartanegara untuk menuntaskan RUU KUHP ini. “Beliau bukanlah orang-orang sembarangan.”
RUU KUHP sebenarnya akan menjadi momentum terlepasnya Indonesia dan penjajahan hukum peninggalan kolonial selama kurang lebih 101 tahun. “Bukan hanya berdikari, namun sebagai sebuah bangsa kita punya martabat karena bisa melahirkan RUU KUHP yang terdiri dari 626 pasal yang merupakan hasil karya anak bangsa,” demikian Bambang Soesatyo. (akhir)