JAKARTA, Beritalima.com– Sistem politik di Indonesia saat ini memiliki kekhasan dibanding negara lain dimana pasca reformasi 1998, presiden tidak lagi menjadi mandataris MPR RI.
Indonesia beralih menggunakan sistem presidensial dimana presiden dipilih langsung rakyat melalui pemilihan umum sehingga eksekutif (pemerintah) terpisah dengan kekuasaan legislatif (parlemen).
Sistem presidensial, kata Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, idealnya mempunyai dua kekuatan utama yang saling berhadapan seperti terjadi di Amerika Serikat dimana Partai Republik berhadapan dengan Demokrat.
“Di Indonesia, kombinasi sistem presidensial dengan kondisi multi partai di parlemen seperti saat ini menjadi wajah baru sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dunia,” tegas Bamsoet dalam Rapat Pleno Lembaga Pengkajian MPR RI, Gedung MPR RI Jakarta, kemarin.
Lembaga Pengkajian MPR RI beranggotakan 60 orang yang berasal dari berbagai tokoh dan pakar ketatanegaraan. Hadir dalam Rapat Pleno tersebut antara lain Arief Budimantan (Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional/KEIN).
Hajroyanto Y Thohari (Wakil Ketua MPR 2009–2014), Andi Mattalata (Mantan Menteri Hukum dan HAM), Ali Masykur Musa (Mantan Anggota BPK RI), Margarito Kamis (Pakar Hukum Tata Negara), Valina Singka Subekti (Akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia).
Menurut Bamsoet, multi partai di parlemen yang dikombinasikan dengan presidensial tidak jarang menimbulkan resistensi terjadinya pemerintahan yang terbelah. Dimana calon pasangan presiden – wakil presiden yang memenangkan Pemilu bukan berasal dari koalisi partai politik yang menguasai parlemen.
Sejarah membuktikan, Pilpres 2004 yang dimenangkan SBY – JK dan Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi – JK, bukan berasal dari koalisi partai politik yang menguasai parlemen.
“Untungnya di dua Pemilu tersebut, Partai Golkar selalu menjadi bandul yang menyeimbangkan kekuatan koalisi pemerintah untuk menghadapi koalisi oposisi di parlemen. Sehingga pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien. Hubungan pemerintah dan parlemen bisa terkendali,” jelas Bamsoet.
Dikatakan, agar sistem presidensial bisa berjalan secara tepat, maka perlu penyederhanaan partai politik di tingkat parlemen. Karena itu mulai Pemilu 2009 telah diberlakukan parliamentary threshold.
“Parliamentary threshold di Pemilu 2009 sebesar 2,5 persen. Meningkat di Pemilu 2014 menjadi 3,5 persen. Ditingkatkan lagi menjadi 4 persen untuk Pemilu 2019.
Jika di Pemilu 2014 lalu ada 10 partai politik yang lolos ke parlemen, di Pemilu 2019 nanti jumlahnya akan mengecil, bisa hanya 5-7 partai politik yang lolos. “Jadi, partai politik dan para Calegnya dituntut bekerja keras memenangkan hati dan suara rakyat,” jelas Bamsoet.
Bamsoet berpendapat, penyederhanaan partai politik di parlemen belum tentu bisa menjamin stabilitas politik penyelenggaraan pemerintahan negara. Karena itu harus ada ikatan ideologis yang kuat bagi koalisi partai politik, sehingga anggotanya di parlemen punya garis perjuangan yang sama.
“Di periode 2009-2014, tak jarang kita lihat anggota koalisi pemerintah justru bersuara lantang kepada pemerintah. Hal ini menyebabkan kebisingan dan kegaduhan politik di internal pemerintah sendiri. Sehingga pemerintah seperti berjalan auto pilot,” ungkap dia.
Mulai Pemilu 20014 sebenarnya sudah mulai terjadi pembelahan dua kutub kekuatan politik di Indonesia, yaitu antara Koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih.
Meski di Pemilu 2019 nanti masing-masing koalisi partai politik berganti nama menjadi Koalisi Indonesia Adil Makmur dengan Koalisi Indonesia Kerja, namun tidak mengecilkan penebalan pembelahan dua kekuatan politik yang telah terjadi sejak Pemilu 2014.
“Pembelahan ini sangat baik. Karena yang terbelah adalah kekuatan koalisi partai politiknya, bukan rakyat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Bahkan pembelahan koalisi ini bisa mengantarkan Indonesia kepada koalisi permanen, sehingga di masa depan tidak ada lagi partai politik yang loncat kesana-kemari,” demikian Bambang Soesatyo. (akhir)