JAKARTA, Beritalima.com–Revisi UU No: 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang diubah penamaannya menjadi Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) bakal disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (28/3).
Pengesahan RUU PIHU menjadi UU, jelas Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo merupakan bukti walau DPR RI disibukan dengan Pemilu, tetapi para wakil rakyat itu tetap fokus menyelesaikan berbagai tugas legislasi yang berkenaan langsung dengan kehidupan rakyat.
Jika UU lama hanya mengatur tentang haji, setelah revisi diatur pula tentang umroh. UU ini juga memberikan kepastian jamaah terlayani dengan baik. Penindakan pidana kepada biro travel juga diatur secara jelas, sehingga memberikan kepastian hukum kepada para jemaah.
Itu dikatakan Ketua DPR RI ini saat menerima pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) di ruang kerja Ketua DPR RI Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, pekan ini.
Pengurus IPHI yang hadir antara lain Ismed Hasan Putro (Ketua Umum), HM Samidin Nashir (Sekjen), K Zulkarnain, Haruk Rofida, Gatot Solahudin (Wakil Sekjen) dan Makrus Ali (Departemen Hukum).
Pada kesempatan itu, politisi senior Partai Golkar ini menjelaskan, dalam UU PIHU juga diatur adanya prioritas kepada jemaah Haji difabel dan lansia yang berusia diatas 65 tahun.
Ada juga ketentuan jika calon jemaah Haji meninggal dunia, terdapat pelimpahan porsi keberangkatan dan daftar tunggu kepada anggota keluarga yang menggantikan.
“Karena menyesuaikan dengan kuota Haji dari Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia yang kadang berubah setiap tahunnya, mekanisme keberangkatan jemaah Haji ditentukan Keputusan Menteri Agama, tidak spesifik diatur dalam UU.
“Namun, DPR RI selalu menekankan kepada Kementerian Agama agar memperbaiki pola penyusunan daftar tunggu, sehingga ada standar baku keberangkatan jamaah haji menggadopsi pola first in, first out,” tutur pria yang akrab disapa Bamsoet ini.
Wakil rakyat Dapil VII Provinsi Jawa Tengah ini menuturkan, pengurus IPHI juga menyampaikan aspirasi tentang managemen pengelolaan keuangan haji. Sebagaimana ketentuan UU No: 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Kemenag tidak lagi mengelola dana haji. Melainkan diserahkan kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Data dari BPKH, potensi dana kelolaan Haji mencapai Rp 114 triliun. Tak hanya memegang dana pelaksanaan ibadah Haji yang disimpan dalam bank yang ditunjuk sebagai Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH) saja, BPKH juga mengelolanya sesuai aturan pengeluaran penempatan dan investasi keuangan Haji.
Selain diparkir dalam deposito syariah, surat berharga syariah negara, sukuk dana Haji Indonesia, dana Haji juga bisa digunakan untuk investasi langsung yang berkaitan dengan penyelengggaraan ibadah Haji.
Misalnya, kata Bamsoet, membangun industri hotel di Mekkah dan Madinah, maupun ke dalam industri penerbangan. Sehingga bisa berefek langsung kepada peningkatan pelayanan haji yang diterima oleh jemaah Indonesia.
Mengingat besarnya jumlah jemaah haji Indonesia, tahun ini saja kuotanya mencapai 221.000. Karena itu, Bamsoet mendorong IPHI bisa menghimpun potensi ekonomi keumatan yang bisa dimaksimalkan.
Misalnya dengan membuat usaha bersama berupa minimarket yang menyediakan kebutuhan sembako, maupun membuat jaringan usaha yang bisa menggerakan roda ekonomi nasional.
“IPHI tak hanya berperan dalam proses keberangkataan Haji saja, melainkan juga pembinaan usai para jemaah pulang ke Indonesia. Ukhuwah sesama jemaah biasanya akan sangat kuat sekali. “Sayang jika tidak dikembangkan untuk memaksimalkannya bagi kebaikan umat,” papar Bamsoet.
Tidak hanya itu, Bamsoet juga mengajak IPHI bisa menjadi mitra kerja aktif pemerintah dan DPR RI. Terutama dalam mengedukasi masyarakat agar bisa mendapatkan informasi yang utuh seputar penyelenggaraan ibadah Haji dan Umrah.
Misalnya, masih banyak yang salah paham bahwa Visa Progresif Umroh 2.000 real (sekitar Rp 8,3 juta rupiah) yang dinilai memberatkan jemaah dibuat Pemerintah Indonesia. Padahal ketentuan itu datangnya dari Pemerintah Arab Saudi. “Tak hanya Umrah, Pemerintah Arab Saudi juga mulai mengenakan Visa Progresif Haji,” urai Bamsoet.
Awalnya, lanjut Bamsoet, aturan Visa Progresif Umroh itu berlaku lima tahun. Namun, karena banyak negara berpenduduk muslim keberatan, termasuk Indonesia, Pemerintah Saudi merevisi menjadi 2 tahun. Aturan ini bukan untuk menghalangi, melainkan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang agar bisa melakukan ibadah Umrah dan Haji.
Pengenaan visa progresif Umrah yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi berdasarkan nomor paspor. Tak jarang jemaah dari berbagai negara mengakali dengan membuat paspor baru atau e-paspor, sehingga nomor paspornya berbeda dengan paspor yang lama.
“Saya imbau agar jemaah Indonesia tidak melakukan hal ini. Karena niat ke Tanah Suci untuk ibadah, maka cara-cara yang dilakukan pun seyogyanya juga dilakukan sesuai aturan,” demikian Bambang Soesatyo. (akhir)