SURABAYA, beritalima.com | Guna membangun kesiapsiagaan terhadap bencana, Pemerintah Provinsi Jatim akan menggunakan pendekatan sosial kultural. Cara tersebut menjadi salah satu langkah utama, selain pendekatan teknis, maupun formal.
Hal tersebut ditegaskan Wakil Gubernur Jatim, Emil Elestianto Dardak saat menjadi narasumber Seminar “Antisipasi dan Penanganan Bencana”, di Aula Garuda Mukti, lantai 5 Kantor Manajemen Kampus C Universitas Airlangga Surabaya, Selasa (8/10) pagi.
Wagub Emil mengatakan, pendekatan secara sosial dan kultural bertujuan agar masyarakat lebih bisa menerima, dan ikut memberikan solusi kepada pemerintah, khususnya dalam membangun kesiapsiagaan bencana di wilayahnya. Salah satu contohnya, adalah dengan mencegah bencana longsor dengan memperkuat hutan, dengan menanam macadamia.
Dijelaskannya, macadamia merupakan jenis tanaman yang akarnya kuat, sehingga bisa menahan erosi tanah, serta tahan terhadap kebakaran. Penanaman tersebut sangat bermanfaat bagi Jatim yang memiliki banyak wilayah dataran tinggi dan pegunungan. Termasuk memiliki kerentanan daerah yang banyak terdapat tanah vulkanik muda, dan beririsan dengan kawasan hutan.
“Ada sebuah kasus, saat ingin menanam macadamia di hutan, kami mengalami kesulitan, sebab masyarakat setempat menolak karena sudah terlanjur menanam biji kopi. Mereka khawatir, kopinya akan rusak,” katanya.
Padahal, sebut Emil, tanaman macadamia tersebut bisa melindungi tanaman kopi. Bahkan jika macadamia ini tidak ditanam dan terjadi longsor, maka seluruh tanaman kopi juga bisa hancur.
“Inilah yang kita ingin mencari pendekatan-pendekatan kultural sosial, untuk mengatasi permasalahan dalam membangun kesiapsiagaan bencana,” imbuh orang nomor dua di Jatim ini.
Kemudian, upaya yang sama juga dilakukan guna mencegah bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Wagub Emil mengungkapkan, bahwa sebanyak 99 % penyebab terjadinya bencana tersebut adalah akibat ulah manusia. Bencana ini juga sempat melanda berbagai kawasan pariwisata, seperti Gunung Penanjakan, Gunung Arjuno, dan Ranu Kumbolo.
Karena itu, pemerintah akan melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat, serta para pendaki gunung untuk tidak melakukan hal-hal yang berpotensi menyebabkan terjadi kebakaran, seperti membuang puntung rokok sembarangan.
Berbagai pendekatan sosial kultural tersebut, lanjut pria yang pernah menjabat sebagai Bupati Trenggalek ini, merupakan salah satu dari sekian banyak upaya Pemprov Jatim dalam membangun kesiapsiagaan bencana. Terlebih lagi, Pemprov Jatim telah menjadikan Indeks Pengurangan Resiko Bencana, sebagai salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU).
Upaya lainnya, lanjut Wagub Emil, adalah mengatasi bencana kekeringan dengan cara meningkatkan jumlah intervensi sumur bor, yang dilakukan melalui dua jalur. Pertama, dengan membangun sumur bor oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kedua, Dinas PU Cipta Karya melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS).
“Harapannya dengan memperbanyak sumur bor ini, tentunya bisa membantu daerah-daerah yang kekeringan. Selain itu, kita berharap bahwa program-program bendungan yang sudah masuk proyek strategis nasional saat ini, bisa berprogres dengan lebih baik kedepannya,” lanjutnya.
Dijelaskannya, kedepan Jatim akan memiliki banyak bendungan yang tidak hanya digunakan untuk mengatasi kekeringan, tapi juga mengendalikan resiko banjir, khususnya yang masuk di sistem Sungai Bengawan Solo. Diantaranya, bendungan di Pacitan, Ponorogo, dan Bendungan Gongseng di Bojonegoro.
“Nanti, ini akan dipadukan dengan penanganan banjir, seperti floatway, artinya jalur pintu yang akan bisa membawa air menuju ke arah laut,” jelasnya.
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Airlangga, Mohammad Nasih mengatakan, seminar ini sangat penting bagi bangsa ini. Sebab, Indonesia memiliki banyak potensi bencana yang bisa setiap saat terjadi, seperti meletusnya gunung berapi, banjir, dan tsunami.
“Setiap kali terjadi, kerugiannya luar biasa, dan korbannya juga banyak. Karena itu, kami menyelenggarakan kegiatan ini, dalam rangka bagaimana kita harus memahami bencana, mengantisipasinya untuk meminimalisir kerugian,” tegasnya.
Ditambahkannya, saat ini Universitas Airlangga telah memiliki program studi bernama manajemen bencana. Menurutnya, bencana memang harus di-manage, sebab jika tidak, maka bisa menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik secara fisik, maupun non fisik.
Hadir dalam kesempatan tersebut, ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Surabaya, para tokoh masyarakat, tokoh komunikasi, dan para wartawan dari berbagai media. (rr)