SURABAYA, beritalima.com – Tahapan Pilwali Surabaya semakin jelas. Siapa yang akan tertulis dalam kotak suara nanti, semakin mengerucut. Dari sekian nama yang mewarnai bursa calon pengisi balai kota, mulai banyak yang terlihat meredup. Hal ini sangat terlihat pasca kemunculan Machfud Arifin, mantan Kapolda Jatim yang bisa disimpulkan orang “paling pasti” maju sebagai calon walikota Surabaya.
Sedangkan dari PDIP, belum terlihat secara gamblang siapa yang akan direkomendasikan, baik sebagai calon walikota maupun calon wakil walikota. Dari semua perkembangan yang terlihat masih cukup dinamis, menarik diikuti adalah kans munculnya figur perempuan yang akan maju dalam Pilwali, baik sebagai calon walikota maupun calon wakil walikota Surabaya.
Adalah Lia Istifhama, aktivis perempuan yang dikenal dengan profesinya sebagai dosen swasta ini, terlihat cukup mampu menjaga elektabilitasnya. Terbukti, putri KH Masjkur Hasjim, tokoh senior NU ini, memiliki basis massa yang loyal dan Istiqomah. Banner yang memampang wajah tokoh millenial ini pun terlihat menyisir wilayah Surabaya, terutama wilayah pemukiman padat. Apa kata relawannya?
“Kami sengaja menyisir wilayah pemukiman padat sesuai instruksi Ning Lia sendiri. Beliau selalu bilang, kita harus bangga sebagai warga Surabaya yang tinggal di pemukiman. Karena tetap saja, identitas kota ini tak lepas dari corak budaya warga kampung (pemukiman padat). Saya tak heran dengan pemikiran Ning Lia, karena memang orangnya sangat sederhana.
Rumahnya saja di pemukiman kampung wonocolo. Posko yang dibentuk juga di area padat penduduk. Orangnya memang sangat biasa, grapyak dan kesan merakyat sangat kuat. Itulah alasan kami mengapa harus terus memperkuat wilayah pemukiman penduduk. Kami ingin kehadiran Ning Lia ini sebagai figur yang dikarepi wong cilik”, ujar Sudarmanto, koordinator relawan yang saat itu didampingi ketua Benteng (Barisan Penguatan Neng) Lia, Gus Yusuf Hidayat.
Lia Istifhama sendiri, ketika dikonfirmasi, mengaku bersyukur atas hadirnya relawan dalam prosesnya.
“Sedari awal sampai detik ini, saya merasa cukup mampu menjaga diri dari ambisi politik. Dan bagi saya, kehadiran relawan adalah karunia yang luar biasa. Ketulusan mereka membuat saya bertahan. Ini menjadikan saya berkomitmen ingin mewarnai Surabaya lebih gebyar. Jadi silahkan dicek, bahwa banner atau semacamnya, bertuliskan : Energi Anyar Untuk Surabaya Lebih Gebyar”, jelasnya. Ditanya apakah istilah gebyar itu memiliki filosofi? Ini jawabannya.
“Gebyar adalah sesuatu yang fenomenal. Ramai dibicarakan dan membuat orang senang dengan sesuatu itu. Harapan saya, gebyar juga bermakna sesuatu besar yang dinanti banyak orang. Sesuatu itu bisa membuat banyak orang menyatu dengan kehadirannya. Dengan kata lain, Surabaya itu gebyar, rek. Jangan ambyar apalagi bubar”, ujarnya dengan tersenyum.
Keponakan Khofifah ini juga menjelaskan bahwa alasan menemukan istilah gebyar juga terinspirasi dari relawan.
“Dari para relawan, baik Pilwali maupun Pilgub, saya mengenal ketulusan yang luar biasa. Banyak orang yang menanti kehadiran figur pemimpin yang baik serta menarik. Menarik disini bisa banyak hal, terutama dari segi kreatifitasnya dan keramahannya.
Sifat yang menarik ini membuat dia bisa menjadi penggebrak yang disukai orang. Orang pun mau mendukung dengan senang, dan gebyar, rame-rame dukung dengan rasa hepi. Kalau ambyar kan lebih condong sifatnya ramai terus buyar. Tapi yang saya harapkan sesuatu yang ramai, orang senang berproses bersama-sama di dalamnya, dan susah dibuyarin semangat ini”, pungkasnya. Lia juga tidak menampik corak grass root “abangan” mewarnai banner yang dipasang relawannya. Ia menjawa simpel : “Lah gimana enggak, wong relawan saya banyak yang grass root abangan”.