Bantah Ada Pasal Seludupan, Mulyanto: RUU EBT Baru Tahap Draf di BK DPR RI

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr H Mulyanto membantah ada pasal seludupan di draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang baru mulai dibahas di Parlemen.

Soalnya, ungkap Mulyanto yang juga anggota Komisi VII DPR RI membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LH) tersebut kepada Beritalima.com di Jakarta, Rabu (21/10), saat ini baru tahap awal baru tahap drafting Badan Keahlian DPR RI.

Itu artinya, ungkap wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut, pembahasan RUU EBT masih harus melewati beberapa tahap lanjutan seperti drafting Komisi VII, Pemerintah, Dengar Pendapat dengan pihak, pembahasan bersama DPR dan Pemerintah, baru kemudian diputuskan.

Dikatakan, untuk sampai kepada tahap putusan, setiap RUU bakal dikaji secara mendalam pihak terkait sehingga kalau ada pihak tertentu ingin memasukan pasal selundupan di RUU EBT pada tahap ini tentu tak bakal efektif.

Sebelumnya perusahaan nuklir ThorCon International Pte Ltd mengkritik draf RUU EBT yang sedang dibahas DPR RI. Perusahaan nuklir Amerika Serikat itu menuding ada pasal selundupan yang merugikan investor Indonesia di bidang ketenaganukliran.

Kepala Perwakilan ThorCon International Pte Ltd di Indonesia, Bob S Efendi menyebutkan, dalam RUU EBT banyak ketentuan yang tumpang tindih dengan UU No: 10/1997 tentang Ketenaganukliran.

“Dikonklusikan dalam RUU EBT ini terdapat pasal-pasal selundupkan yang mencederai ketentuan dalam UU No: 10/1997 sebagai UU induk nuklir dan yang pasti akan membuat mundur sektor nuklir nasional. Kami berharap Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) bisa lebih mengawal dan mendukung terbukanya investasi di bidang ketenaganukliran,” ujar Bob.

Menanggapi hal tersebut, Mulyanto menjelaskan, dugaan itu tdak benar. Sebab, saat ini pembahasan RUU EBT baru tahap penyusunan draf oleh Badan Keahlian DPR.

Mungkin karena perusahaan AS ini, belum paham benar tentang proses perundangan di Indonesia. Penggunaan kata ‘penyeludupan’ tak tepat dalam konteks pembentukan RUU EBT pada tahap yang masih dini.

RUU inisiatif DPR ini sekarang baru tahap drafting dari Badan Keahlian DPR, bukan draf dari Komisi VII, bukan pula draf dari DPR RI, apalagi sebagai draf yang sudah disahkan bersama Pemerintah.

“Sekarang ini masih pada tahap menjaring masukan dari berbagai pihak terkait untuk menyempurnakan draf yang ada. Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari fraksi-fraksi saja belum diminta. Jadi, masih dalam tahap yang awal sekali. Akan terus berubah bersama proses dan tahapan pembahasan yang ada,” ungkap doktor nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology (Tokodai) Jepang tersebut.

Biasanya, lanjut Mulyanto, istilah penyeludupan pasal itu digunakan saat ada pasal yang tiba-tiba masuk dalam dokumen/draf RUU yang sudah disahkan, padahal substansinya tidak pernah dibahas dalam Panitia Kerja (Panja). Pasal atau ayat itu tiba-tiba muncul secara seludupan. Pembahasan RUU EBT saat ini belum menyentuh masalah pokok, baru pada tingkat penjaringan aspirasi, agar isi RUU EBT lebih komprehensif.

Mulyanto melihat ada beberapa pokok pembahasan penting yang perlu dicermati masyarakat terkait UU EBT ini diantaranya pasal 7 ayat 3 tentang operasi dan dekomisioning PLTN oleh BUMN Khusus, yang berbeda dengan ketentuan UU No; 10/1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 13 ayat (3) yang berbunyi pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning reaktor nuklir komersial dilaksanakan Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.

“Kemarin dalam draf RUU Ciptaker pembahasan mengenai BUMN Khusus, untuk menggantikan SKK Migas didrop dari DIM. Untuk pengusahaan bahan nuklir, diputuskan akan diserahkan hanya kepada BUMN. Sedangkan untuk kasus pembangunan, operasi dan dekomisioning PLTN ini masih harus kita dalami kalau kelak akan dibatasi pada BUMN saja. Agar antara aspek nuclear security dan pengusahaan komersial dapat dirumuskan secara optimal,” kata Wakil Rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini.

Ditambahkan, Fraks PKS mengupayakan agar pengaturan terkait dengan bidang ketenaganukliran dalam RUU EBT menjadi lebih baik dibanding dengan ketentuan dalam UU Ketenaganukliran yang ada. Nanti teknis perundangannya akan kita carikan solusinya.

Jika dalam pasal 13 ayat (5) UU Ketenaganukliran disebut Pembangunan reaktor nuklir sebagaimana dimaksud ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir, ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR, dalam UU EBT diusulkan istilah ‘konsultasi’ diubah menjadi ‘persetujuan’.

Alasannya karena pembangunan PLTN ini sangat strategis bagi bangsa Indonesia. Ini adalah ketentuan yang masih harus dibahas lebih lanjut. “Saya setuju dengan penggunaan kata ‘persetujuan’, karena ini lebih kuat ketimbang kata “konsultasi,” tegas Mulyanto.

Soal Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN) sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 12 ayat 2 UU Ketenaganukliran, perlu lebih diperkuat.

Mulyanto menyayangkan hingga saat ini keberadaan majelis pertimbangan tenaga nuklir ini tidak jelas keberadaannya. Padahal tugas majelis ini sangat luas karena terkait dengan pemberian saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai pemanfaatan tenaga nuklir. Tidak hanya untuk PLTN.

“Jadi kalau dalam RUU EBT akan dibentuk Majelis Pertimbangan Daya Nuklir (MPDN), berarti khusus untuk reactor daya (PLTN) saja, maka perlu dipikirkan dengan seksama urgensi dan tugas pokoknya, agar benar-benar bisa implementatif.

Di era Presiden SBY ada moratorium kelembagaan. Karena pembentukan lembaga baru akan menyedot SDM dan anggaran pemerintah, karenanya perlu secara cermat dirumuskan,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *