SURABAYA, beritalima.com – BULAN Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) tiba bersamaan datangnya Mei, mulai besok (1/5). Serangkaian acara sebagai rangkaian peringatan sudah digelar sejak April ini dan akan ada yang dihelat hingga puncak Dirgahayu Kota, 31/5.
Bagunan cagar budaya yang menjadi cuilan sejarah kota tak ketinggalan dipercantik oleh pemkot. Namun ini baru sebatas di pusat kota, di Jalan Tunjungan, salah satunya. Untuk bangunan-bangunan tua di wilayah utara kota merana.
Keberadaannya apa adanya, kendati bangunan yang ada menjadi bagian cagar budaya kota. Dengan perhatian, minimal pengecatan, gedung-gedung tua itu bisa menjadi potensi sekaligus Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW) minat khusus.
Sambang Kampung Lawas yang digelar Komunitas Pecinta Surabaya Rek Ayo Rek (RAR), kemarin (29/4) menunjukkan bangunan heritage di wilayah utara banyak yang kondisinya memprihatinkan. Melalui kemasan seminar travelling, para pemerhati dan mereka yang berkompeten menjelaskan kilas sejarah, kondisi serta rekomendasi atas bangunan yang ada.
Sesuai namanya, seminar travelling sambang kampung dilakukan dengan jalan kaki. Jembatan Merah yang menjadi salah satu ikon kota sekaligus simbol perjuangan Arek-Arek Suroboyo menjadi titik start bagi RAR dan sejumlah pakar.
Direktur Sjarikat Poesaka Surabaya Fredy H Istanto menjelaskan, wilayah Surabaya utara menjadi bagian pusat pemerintahan serta bisnis Surabaya tempo dulu. “Jembatan Merah yang persis di atas sungai Kalimas ini secara tidak langsung menjadi batas tegas tata ruang pada masa lalu. Dalam syair lagu Jembatan Merah menyebutkan berpagar gedung indah,” Fredy menjadi pembicara pertama seminar travelling.
Salah satu Dekan di Universitas Ciputra (UC) Surabaya ini merinci, gedung-gedung di Jalan Veteran dan Pahlawan yang dimaksud dalam syair lagu. Di jalan ini ada kantor gubernur, kantor imigrasi yang dulunya bernama Pabean. Pabean sendiri kini menjadi nama pasar. Tak jauh dari kawasan Jembatan Merah ada nama Jalan Bongkaran, yang dulunya memang menjadi pusat bongkar-muat. Tidak jauh dari Jembatan Merah, tepatnya di Jalan Karet dulunya terdapat masjid yang menjadi transit muslimin sebelum berangkat ke Tanah Suci Mekkah, menunaikan ibadah haji. Masjid ini menjadi cikal bakal asrama haji di Surabaya. Menjadi jujugan sementara karena masjid itu berada di tepi Kalimas, tempat sandarnya kapal. Ketika itu perjalanan haji menggunakan kapal laut.
Soal Jembatan Merah yang menjadi batas tegas tata ruang, Fredy sebagai pemerhati bangunan heritage lantas merinci. Menurutnya, sisi timur serta utara Jembatan Merah atau timur aliran sungai Kalimas merupakan wilayah bagi warga keturunan China, Melayu, Arab, Jawa dan Madura. Keberadaan bangunan berarsitek China membuat bagian timur Kalimas juga disebut Pecinan. Meski demikian, bangunan yang menguatkan kesan Arab dan Jawa juga ada.
Barat Jembatan Merah maupun Kalimas menjadi kawasan modern, yang dikuatkan keberadaan bangunan-bangunan model Eropa. Salah satunya gedung Internatio yang merupakan bank internasional pada masa lampau.
Selain kondisi bangunan yang memprihatinkan, kondisi jalannya hingga kini masih berupa tanah berbatu. Singkatnya, jalan macadam. Padahal ini bagian wilayah Kota Surabaya. Ini terlihat di ruas jalan yang oleh warga sekitar dinamakan Jalan Panggung Belakang.
“Sampai hari ini jalan ini belum terpaving, apalagi aspal. Kalau musim hujan tentunya becek. Padahal dengan bangunan yang dicat, dan jalan diperbaiki bisa mendukung keberadaan wisata kota tua di wilayah utara,” tutur Abdullah Buftein, warga Nyamplungan Surabaya utara yang ditemui di Jalan Panggung belakang.
Cak Dullah, sapaannya, prihatin atas kondisi jalan itu. Menurutnya, antara Pemkot Surabaya dengan Pemprov Jatim saling lempar tanggung ajwab. “Padahal keberadaan bangunan liar yang dihuni warga T-4 (tempat tinggal tidak tetap) dulunya diobrak pemkot. Tapi kenapa soal jalan saja belum mendapat perhatian,” tanyanya.
Neneng Dwi Suchufi, salah seorang pelaku bisnis perjalanan dari Raafi Tours & Travel berpendapat bangunan tua di wilayah Surabaya utara bisa menjadi potensi minat khusus. “Biasanya yang berminat datang ke bangunan tua adalah orang yang memiliki memori sehubungan keberadaan kota atau bangunan tua di sini. Misalkan anak-cucu warga Belanda yang nenek moyangnya dulu pernah di sini,” ujar Neneng.
Direktur Sjarikat Poesaka Surabaya atau Surabaya Heritage Fredy H Istanto kembali menjabarkan jika kawasan Jalan Kembang Jepun, yang tak jauh dari Jembatan Merah dulunya pusat bisnis, titik perdagangan. “Dulu disebut Handle Straat. Handle itu perdagangan, straat itu jalan,” kata Fredy.
Karena pusat bisnis, wajar jika sisa bangunan yang ada menguatkan dulunya digunakan sebagai tempat usaha. Singkatnya, Rumah Toko (Ruko). Bahkan ada bangunan besar berlantai dua yang kini menjadi asset PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
Tidak jauh dari gedung RNI ini ada menara pandang, tepatnya masuk wilayah RW-IX, Kelurahan Nyamplungan, Kecamatan Pabean. Menara ini dulu untuk mengawasi kapal-kapal yang sandar di Kalimas.
Ibrahim, warga Kampung Baru Bangilan, RW-IX, Kelurahan Nyamplungan, Kecamatan Pabean berharap kampungnya dengan banyak bangunan tua bisa dikemas menjadi tujuan wisata kota lama. “Dulu menara ini pernah menjadi markas tentara Gurkha,” tuturnya.
Peserta seminar travelling sempat menyeberangi sungai Kalimas dengan perahu tambang, yang yang dioperasikan Mbah Asrun, warga Jalan Kalimas Timur. Dia berharap ada banyak pengunjung datang setelah bangunan di Surabaya utara menjadi bagian wisata kota tua. Tentunya setelah ada perhatian pemkot. “Saya kenakan ongkos Rp1000 tiap orang yang menyeberang dari Kalimas Timur ke Kalimas Barat,” tuturnya. Penghasilannya per hari maksimal Rp50 ribu, itupun harus dipotong Rp25 ribu sebagai setoran perahu.
Bangunan tua di kawasan Jalan Panggung, Kalimati, Kalimas Barat bisa menjadi destinasi paket wisata. Termasuk bangunan tua, eks Penjara Kalisosok dan lainnya.
Ketua Komunitas Peduli Surabaya Rek Ayo Rek (RAR) Herman Rivai menyebut pihaknya akan membuat rekomendasi tertulis dan disampaikan ke Pemkot Surabaya, Pemprov Jatim, Balai Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI), Komisi X DPR RI dan pihak lain yang memiliki kewenangan dan perhatian pada cagar budaya. Harapannya ada solusi perawatan hingga menjadikannya sebagai tujuan wisata.
“Bersama tim, hasil seminar travelling ini akan kami godog,” kata Herman Meneer, sapaannya. Dipanggil demikian lantaran kakek moyangnya merupakan warga Belanda.
Sachiroel Alin Anwar, pemerhati Kota Surabaya berharap ada political will pemerintah untuk melestarikan kawasan lama yang menjadi situs cagar budaya. “Selain ada perhatian berupa perawatan, perhatian lain bisa kebijakan pemotongan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta lainnya,” kata Alim. Kebijakan ini diberlakukan di negara lain yang menjadikan bangunan tua bagian tujuan wisata. China, Korea, dan lainnya. (*)