Jakarta, beritalima.com| – Belakangan ini jadi bahan polemik terkait gekar doktor/professor yang ternyata tak sesuai dengan latar orang memakainya, sehingga mudah diraihnya. Mengapa Karena aturan yang berlaku di negeri ini tak jelas. Loh?
Banyak peraturan atau regulasi untuk meraih gelar akademik doktor atau jabatan fungsional profesor kian tak jelas atau bikin pusing. Seperti diungkapkan I Ketut Surajaya, Guru Besar Studi Jepang, Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI (SKSG UI), dalam diskusi daring di Jakarta (25/7), diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena.
Diskusi bertema Menjaga Marwah Gelar Akademik dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani, diantaranya mengupas soal peraturan untuk menjadi Doktor, seorang harus punya dua karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional berindeks Scopus.
“Saya termasuk orang yang sangat menentang hal ini. Kenapa? Yang meluluskan doktor itu apakah jurnal Scopus atau profesor dan dosen-dosennya di kampus? Tapi kan suara saya minoritas. Saya bukan anti-Scopus, tetapi publikasi di jurnal Scopus sebaiknya jangan dijadikan syarat,” ujar Ketut Surajaya.
“Sekarang kan mereka pusing. Saya ikut pusing karena harus meneliti tulisan orang, meneliti jurnal orang. Padahal di dalam jurnal itu berantem sendiri di antara mereka, untuk mencari tulisan-tulisan. Maka kemudian lahirlah jurnal predator semacam itu,” akunya.
Ketut yang ahli soal Jepang menyimpulkan, “jurnal ilmiah ini sudah menjadi industri. Menjadi kerjaan calo-calo. Kalau ditanya datanya, saya tak punya. Tetapi banyak orang mengaku terlibat hal ini. Itu yang terjadi sekarang.”
I Ketut Surajaya juga mengamati, para doktor sebelum jadi profesor biasanya sudah menulis banyak karya ilmiah. Sesudah jadi profesor, seharusnya mereka menulis lebih banyak lagi. “Tetapi yang saya lihat, sesudah orang itu jadi profesor, dia tidak menulis lagi. Kan tidak nyambung, jadi karya ilmiah itu cuma diperlakukan sebagai syarat saja,” lanjutnya.
Dia juga memaparkan, berdasarkan data Kemendikbudristek, pada tahun 2022 ada sekitar 326,5 ribu dosen di Indonesia. “Tetapi jumlah profesor atau guru besar masih sedikit. Dari 311,63 ribu dosen aktif di Indonesia, hanya sekitar 2,61 persen yang jadi profesor atau guru besar,” jelasnya.
Jurnalis: Rendy/Abri