LUMAJANG,beritalima.com- Sehubungan dengan telah dimulainya Tahun Ajaran Baru tahun 2019-2020, di kabupaten Lumajang ada saja yang dilakukan sekolah-sekolah di berbagai sekolahan. Diduga untuk meraup keuntungan tidak jarang pihak sekolah menjadikan sekolah sebagai “agen” produk-produk pihaknya. Hal ini terjadi di sekolah swasta maupun negeri, mulai tingkat bawah maupun atas, (19/07/2019).
Dari hasil pantauan awak media, ada beberapa penemuan dari beberapa wali murid yang mengeluhkan tentang pembiayaan sekolah anaknya. Di satu sisi mengeluh terkait pembelian buku LKS, di lain sisi terkait pembelian seragam dan biaya pendaftaran. Para kader pembangunan bidang pendidikan yang terdiri dari pendidik dan tenaga kependidikan belum mengerti bahwa apa yang selama ini mereka lakukan merupakan tindak pidana korupsi yang merugikan pemerintah dan masyarakat.
Yang terjadi di salah satu sekolah MI di Lumajang, menjual LKS dan melakukan penarikan uang untuk pendaftaran ulang. Kepada awak media seorang wali murid mengeluhkan adanya pembayaran daftar ulang dan pembelian LKS, “Anak saya kelas Empat pak, ini dikenakan bayar daftar ulang Rp 100000,- dan membeli LKS Rp 208000,- pak, pemberitahuan itu melalui edaran dan tertulis dalam rincian pembelian LKS yang harus dibayar”, ujar Wali murid tersebut sambil menunjukkan surat edarannya yang ditanda tangani kepala sekolah.
Saat dikonfirmasi awak media, pihak kepala sekolah mengelak kalau pembelian LKS itu senilai Rp 200000,- lebih itu. “Memang ada pembelian LKS tapi hanya Rp 100000,- untuk kelas bawah, dan yang kelas Enam Rp 150000,-. Itupun kalau ada yang mau membeli, kalau mau beli di toko ya boleh. Tapi wali murid malah menghendaki pihak sekolah yang membelikan”, ujar kepala sekolah.
Ditanya soal pembelian LKS, dirinya membeli ke sales awalnya. Tapi sekarang langsung beli ke penerbitnya di Solo, Jawa Tengah, dan pakai penerbit Fokus. Lain penerbit tidak sama, “kita cocok dengan penerbit Fokus, karena kalau yang lainnya berdasarkan kurikulum yang ada cuman materi yang ada di dalamnya”, jelas kepala sekolah.
Dalam hal ini memang dirinya pernah dipanggil kemenag terkait pembelian LKS, tetapi tiga tahun yang lalu waktu kepala kemenagnya Muhammad. “Saya pernah dipanggil kemenag dulu pak, ya saya ngomong kalau ada kesulitan terkait LKS, dan beliau memperbolehkan”, pungkasnya.
Berbagai kebijakan memang sudah ada dalam Peraturan Pemerintah, adanya beberapa larangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan, dewan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 181. Pertama, larangan untuk menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam di satuan pendidikan. Kedua, larangan untuk memungut beaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan.
Ketiga, larangan untuk melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun yang mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik. Keempat, larangan untuk melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berbagai larangan tersebut tentunya bermakna sebagai upaya positif pemerintah untuk menetralisir fungsi pendidikan dari campur tangan pihak ketiga yang ingin menjadikan sekolah sebagai “Agen”.
Pemerintah dalam hal ini telah mengambil sikap agar para pendidik dan tenaga kependidikan tidak lagi mencari penghasilan tambahan dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya di satuan pendidikan. Dalam hal ini para pendidik seolah-olah diajak untuk berpikir jernih, apakah penghasilan yang selama ini mengalami kenaikan dan masih ditambah dengan tunjangan sertifikasi masih kurang?. (Jwo)