KUPANG, beritalima.com – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) setiap tahun diperlukan anggaran kurang lebih Rp 110 hingga
Rp 120 trilun untuk pendanaan Adaptasi dan Perubahan Iklim.
Hal itu disampaikan Fabi Tibiwa, dari Institute for Essential Service
Reform ketika membawakan materi tentang Pendanaan Perubahan Iklim di
Indonesia pada kegiatan Worskhop Bagi Media di NTT, Kamis (15/9) di
Kupang.
Workshop ini merupakan kerjasama United Nations Development Programme
(UNDP) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Bappeda
NTT di bawah Strategic Planning and Acton to strengthen climate of
Rural Communites (SPARC).
Ia menjelaskan, kegiatan yang sifatnya adaptasi bisa dilakukan di
tingkat daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota se- Indonesia.
Pendanaan adaptasi dan perubahan iklim bisa dialokasikan dana lewat
APBN, tapi kemudian nanti disalurkan ke daerah melalui instrumen –
instrumen misalnya DAK (Dana Alokasi Khusus) atau dana perimbangan
lain. Karena itu, tentunya membutuhakn kerjasama Bappenas, Kementerian
Keuangan, Kemendagri dan usulan dari pemerintah daerah, karena
penggunaan DAK harus berdasarkan usulan proposal dari pemerintah
daerah.
Ia juga menyarankan kepada pemerintah daerah Provinsi NTT dan
kabupaten/kota untuk memasukkan aksi – aksi mitigasi perubahan Iklim
di dalam RPJMD-nya.
“ Misalkan dalam hal memperbaiki pengelolaan sampah di Kota Kupang
mulai dari pengangkutan, kemudiaa membangun infrastruktur sampah itu
peru ada tempat penampungan sampah sementara (TPS) sebelum nanti
dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Berarti TPA-nya juga perlu
dibenahi”, kata Fabi.
Dikatakannya, biaya pengolahan sampah biasanya sekitar tiga persen
dari total APBD. “ Jadi misalnya biaya untuk pengolahan sampah
pembangunan TPS yang sifatnya sanitary Landfill bisa dibiayai oleh
pemerintah pusat, tetapi operasional dari TPA”, ujarnya.
Dia mengatakan sesuai ketentuan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah di Indonesia, menyebutkan sampai dengan
tahun 2013 semua kabupaten/kota sudah harus mempunyai Sanitary
Landfill, karena ancamananya pidana.
“ Jadi kalau pemerintah daerah tidak menjalankan amanat Undang-Unang
Persampahan ancamanya pidana. Tetapi kalau tidak memenuhi amanat itu,
pemerintah daerah harus mempunyai strategi yang bisa dibaringkan
dengan aksi mitigasi perubahan iklim”, jelasnya. (Ang)
(Bappenas) setiap tahun diperlukan anggaran kurang lebih Rp 110 hingga
Rp 120 trilun untuk pendanaan Adaptasi dan Perubahan Iklim.
Hal itu disampaikan Fabi Tibiwa, dari Institute for Essential Service
Reform ketika membawakan materi tentang Pendanaan Perubahan Iklim di
Indonesia pada kegiatan Worskhop Bagi Media di NTT, Kamis (15/9) di
Kupang.
Workshop ini merupakan kerjasama United Nations Development Programme
(UNDP) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Bappeda
NTT di bawah Strategic Planning and Acton to strengthen climate of
Rural Communites (SPARC).
Ia menjelaskan, kegiatan yang sifatnya adaptasi bisa dilakukan di
tingkat daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota se- Indonesia.
Pendanaan adaptasi dan perubahan iklim bisa dialokasikan dana lewat
APBN, tapi kemudian nanti disalurkan ke daerah melalui instrumen –
instrumen misalnya DAK (Dana Alokasi Khusus) atau dana perimbangan
lain. Karena itu, tentunya membutuhakn kerjasama Bappenas, Kementerian
Keuangan, Kemendagri dan usulan dari pemerintah daerah, karena
penggunaan DAK harus berdasarkan usulan proposal dari pemerintah
daerah.
Ia juga menyarankan kepada pemerintah daerah Provinsi NTT dan
kabupaten/kota untuk memasukkan aksi – aksi mitigasi perubahan Iklim
di dalam RPJMD-nya.
“ Misalkan dalam hal memperbaiki pengelolaan sampah di Kota Kupang
mulai dari pengangkutan, kemudiaa membangun infrastruktur sampah itu
peru ada tempat penampungan sampah sementara (TPS) sebelum nanti
dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Berarti TPA-nya juga perlu
dibenahi”, kata Fabi.
Dikatakannya, biaya pengolahan sampah biasanya sekitar tiga persen
dari total APBD. “ Jadi misalnya biaya untuk pengolahan sampah
pembangunan TPS yang sifatnya sanitary Landfill bisa dibiayai oleh
pemerintah pusat, tetapi operasional dari TPA”, ujarnya.
Dia mengatakan sesuai ketentuan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah di Indonesia, menyebutkan sampai dengan
tahun 2013 semua kabupaten/kota sudah harus mempunyai Sanitary
Landfill, karena ancamananya pidana.
“ Jadi kalau pemerintah daerah tidak menjalankan amanat Undang-Unang
Persampahan ancamanya pidana. Tetapi kalau tidak memenuhi amanat itu,
pemerintah daerah harus mempunyai strategi yang bisa dibaringkan
dengan aksi mitigasi perubahan iklim”, jelasnya. (Ang)