Jakarta, beritalima.com| – Proses terjadinya Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang kini masuk usia 117 tahun (sejak 20 Mei 1908), tak datang tiba-tiba karena merupakan proses yang panjang. Ketika itu Indonesia masih dalam kondisi sangat berat karena dalam penguasaan kaum penjajah asing.
Namun para pemuda yang sedang menempuh pendidikan ilmu Kedokteran, mulai berpikir jauh kedepan tentang nasib Indonesia kedepan yang berdaulat. Baskara T. Wardaya, Ph.D, sejarawan yang juga Kepala Divisi Riset dan Advokasi PRAKSIS (Pusat Riset dan Advokasi Serikut Jesus), menilai memang Harkitnas layak untuk diperingati sebagai momentum penguatan semangat persatuan bangsa.
Berikut ini wawancara Beritalima (BL) dengan Baskara T. Wardaya (BTW), yang meraih gelar Master dan Doktor bidang Sejarah dari Marquette University, Amerika Serikat dan telah menerbitkan beberapa buku seperti Bung Karno Menggugat (2006); Cold War Shadow (2007); Luka Bangsa, Luka Kita (2014); Beyond Borders (2017); Keeping Hope (2017); Memori bGenosida (2021); dan Awan Merah (2023):
BL. Apa makna terpenting dari Harkitnas saat ini menurut Anda sebagai sejarawan?
BTW: Setidaknya ada tiga makna terpenting. Pertama, kesadaran akan pentingya proses. Jarang ada sesuatu yang datang dengan tiba-tiba. Semuanya merupakan hasil dari suatu proses. Demikian pula kesadaran nasional. Kebangkitan nasional itu tidak datang tiba-tiba, melainkan buah dari sebuah proses panjang.
Proses panjang itu, misalnya, dimulai sejak sejumlah anak muda mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau sekolah untuk menjadi Dokter-Jawa di Batavia berkumpul untuk berdiskusi tentang pentingnya memperjuangkan kebaikan bersama sebagai bangsa yang terjajah.
Kedua, pentingnya peran generasi muda. Di Indonesia, kesadaran akan kebangkitan nasional itu dirintis oleh kaum muda. Orang muda yang penuh dengan hasrat untuk belajar mempersiapkan masa depan sering memiliki visi berbeda dari visi yang dianut orang-orang sejamannya. Jika pada awal 1900-an banyak penduduk Hindia Belanda cenderung “menerima” begitu saja sistem kolonial sebagai realitas sosial-politik-ekonomi, misalnya, orang-orang muda terpelajar di STOVIA itu memiliki visi yang berbeda. Mereka memiliki visi tentang warga pribumi yang tidak harus berada di bawah realitas sistem kolonial. Menurut mereka, warga pribumi harus mampu menentukan nasib dan masa depannya sendiri, terlepas dari sistem kolonial yang ada.
Lalu mereka berjuang untuk visi itu. Ketiga, pentingnya pendidikan. Kaum muda STOVIA tersebut memiliki kesadaran akan nasionalisme karena mereka sedang menempuh pendidikan, dalam hal ini pendidikan tinggi. Karena pendidikanlah mereka memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas, yakni pengetahuan dan wawasan untuk menghadapi dan mengubah kondisi keterjajahan menuju kondisi yang lebih baik.
BL: Dalam kekinian, faktor apa saja yang dapat dijadikan pendorong pemersatu dalam semangat Harkitnas?
BTW: Tentu saja ada banyak faktor yang dapat dijadikan pendorong pemersatu tersebut. Salah satunya adalah faktor kesadaran sejarah. Perlu disadari bahwa sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) moderen, kita memiliki ikatan sejarah yang kuat. Selain ikatan sejarah sebagai sesama pihak yang menderita di bawah kolonialisme Hindia-Belanda, kita juga memiliki ikatan sejarah akan perjuangan bersama dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari kolonialisme itu.
Ingatan sejarah itu sangat kuat. Belum lagi ikatan sejarah pra-kolonial, termasuk eksistensi Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit serta interaksi antar-penduduk yang sudah berlangsung jauh sebelumnya. Kesadaran akan ikatan sejarah merupakan faktor penting dalam upaya memperbaharui semangat kebangkitan nasional.
Faktor lain adalah hasrat untuk maju bersama sebagai bangsa. Sebagai negara kepulauan, kita adalah sebuah negara yang penduduknya sangat heterogen, baik secara geografis, etnis, religius, maupun linguistik. Namun demikian kita tidak boleh menjadikan heterogenitas atau keragaman itu sebagai alasan untuk berselisih atau berupaya mendominasi satu sama lain. Sebaliknya keragaman itu hendaknya justru menjadi modal untuk bersatu, bangkit dan maju bersama sebagai sebuah negara besar yang mampu mensejahterakan rakyatnya, sekaligus mampu berkontribusi untuk dunia yang lebih luas.
BL: Kaitannya dengan faktor sejarah, apakah momentum Harkitnas menjadi hal penting masyarakat lebih mencintai sejarah tanah airnya?
BTW: Tentu saja. Sebagaimana dikatakan tadi, kesadaran sejarah merupakan salah satu faktor sangat penting sebagai pendorong persatuan dalam semangat kebangkitan nasional. Selain itu, pemahaman yang luas dan kontekstual akan sejarah bangsa akan membantu orang, khususnya kaum muda, tidak hanya untuk mencintai sejarah tanah airnya, melainkan juga bangsanya sendiri, dengan segala jatuh-bangunnya. Momentum Harkitnas adalah momentum yang tepat untuk menyadari kembali semua itu.
BL: Belakangan ini ada upaya Pemerintah membuat ulang penulisan sejarah Indonesia. Bagaimana menurut anda?
BTW: Nah, ini pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Antara lain karena dapat memiliki implikasi politis yang luas, he-he. Jadi saya jawab semampunya saja ya… Begini. Pada satu sisi, selain sejarah-sejarah lokal, kita juga memerlukan sejarah nasional. Artinya, perlu bagi kita, khususnya generasi muda, memiliki wawasan nasional untuk memahami sejarah dan dinamika bangsanya.
Sejarah nasional ini penting untuk membangun dan merawat kesadaran nasional sebagai bangsa. Oleh karena itu perlu untuk terus ditanamkan, kalau perlu sejak usia dini. Pada sisi lain, kita tidak ingin bahwa sejarah nasional itu menjadi semacam alat propaganda atau modus untuk kepentingan-kepentingan politik sesaat.
Apalagi kalau inisiator dan sponsor suatu proyek penulisan sejarah nasional adalah sebuah pemerintahan yang (diam-diam) memiliki agenda politik tertentu. Misalnya agenda untuk mengglorifikasi suatu kelompok atau beberapa orang individu, untuk mengaburkan rekam-jejak pelanggaran hak-hak asasi manusia di masa lalu, atau untuk membungkam suara-suara mereka yang telah dimarginalisasikan.
Terkait hal ini, di satu pihak penulisan-ulang sejarah itu penting, misalnya untuk mengakomodasi temuan-temuan atau teori-teori baru. Namun di pihak lain, jangan sampai penulisan-ulang itu disusupi oleh agenda-agenda tertentu sebagaimana yang telah disebut tadi. Oleh karena itu suatu upaya penulisan-ulang sejarah perlu bersifat transparan, inklusif, mengedepankan prinsip keadilan dan rekonsiliasi, dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik, serta disertai kesediaan untuk lebih mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan pemberi dana.
MA: Pesan apa yang anda ingin sampaikan bagi generasi kini di Harkitnas?
BTW: Sebagaimana telah dicontohkan oleh generasi muda kita pada awal tahun 1900-an, teruslah berproses. Teruslah membaca dan berdiskusi untuk bersama-sama memikirkan dan memperjuangkan apa yang terbaik bagi Republik ini. Pelajarilah sejarah bangsa sendiri, baik di tingkat lokal maupun nasional, guna mendapatkan pelajaran dan inspirasi terbaik yang dibutuhkan untuk lanjut membangun Indonesia di masa kini dan di masa depan.
Peringatan Harkitnas bukan sekedar merupakan kegiatan kolektif untuk bernostalgia tentang masa lalu yang indah. Peringatan akan Hari Kebangkitan Nasional merupakan kesempatan untuk membekali diri kembali dengan pelajaran dan inspirasi baru guna lanjut merawat negeri ini agar tetap merdeka dan berdaulat, demi terciptanya keadilan sosial dan kemakmuran bersama bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jurnalis: Abriyanto







