JAKARTA, Beritalima.com– Terbuka lebar money politik alias politik uang pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Soalnya, ekonomi Indonesia yang sedang resesi ditambah dengan kesulitan yang dihadapi rakyat terutama kelas menengah ke bawah membuat mereka rentan menjadi ‘makanan’ para calon kepala daerah
Hal itu diungkapkan pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com, Jumat (4/12) pagi. “Saya perkirakan politik uang bakal marak terjadi pada Pilkada kali ini,” kata pria yang akrab disapa Jamil ini.
Jamil mengemukakan penilaian tersebut karena ekonomi Indonesia yang sedang resesi sehingga memberi peluang ke arah itu semakin besar. Karena itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus bekerja keras agar Pilkada serentak ini berjalan sesuai dengan harapan “Politik uang akan marak di kalangan pemilih yang status ekonominya rendah,” kata Jamil.
Kalangan ini di tengah wabah pandemi virus Corona (Covid-19) dan resesi ekonomi, ungkap Jamil, sangatlah potensial didekati melalui politik uang.
“Jumlah pemilih kalangan bawah ini cukup besar, yang dikhawatirkan akan lebih mudah digoda iming-iming kapital. Kalau ini terjadi, Pilkada serentak 2020 akan memenangkan paslon yang memiliki kapital besar,” kata dia.
Dalam kondisi ekonomi rakyat seperti sekarang, jelas pengajar Isu dan Krisis Manajemen serta Metode Penelitian Komunikasi itu, kalangan ini tidak lagi memilih berdasarkan kelayakan paslon untuk memimpin daerah mereka. “Paslon yang tidak layak tetapi mempunyai bekal kapital yang dapat ‘ditaburkan’ kepada calon pemilih diperkirakan akan memenangkan pilkada.
Kalangan menengah atas selain jumlahnya sedikit dan tidak bakal mau menerima ‘hadiah’ dari pasangan calon, mereka juga diperkira bakal tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menunaikan hak pilih mereka. Jamil menduga, kelompok ini bakal mendahulukan kesehatan daripada pergi ke TPS. Jadi, kelompok menengah atas tersebut bakal banyak yang memilih golput. “Diperkirakan 40 – 45 persen dari kalangan menengah atas pada hari pemungutan suara tidak bakal datang ke TPS.”
Jadi, dalam Pilkada serentak 2020 diperkirakan akan memenangkan paslon yang kurang berkualitas. Sebab, pilkada kali ini partisipasi ke TPS akan lebih banyak dari pemilih emosional daripada rasional. Mereka ini, selain mudah tergola politik uang juga memilih paslon bukanlah atas kelayakan.
Sementara pemilih rasional selain sulit digoda politik uang juga akan lebih selektif memilih paslon. Bila hal itu terjadi, maka pilkada serentak 2020 tidak menghasilkan pemimpin yang layak. Ini tentu tidak sesuai dengan cost yang dikeluarkan untuk melaksanakan pilkada. “Kemajuan demokrasi dengan sendirinya tidak bakal terwujud dengan diadakannya pilkada. Ini tentu merugikan bagi bangsa dan negara Indonesia,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)