JAKARTA, beritalima.com – Akhir-akhir ini hoaks sering muncul di tengah masyarakat. Hoaks berdampak buruk terhadap kualitas pesta demokrasi yang akan kita hadapi. Hal ini disampaikan Tenaga Ahli Bawaslu RI, Sulastio, dalam Diskusi Publik Institute for Indonesia Local Policy Studies (ILPOS) yang diadakan pada hari Kamis, 10 Januari 2019, di RM. Handayani Prima, Matraman, Jakarta.
Dalam diskusi yang bertemakan ‘Menjadi Pemilih Cerdas Melawan Maraknya Hoaks dan Ujaran Kebencian Jelang Pemilu 2019’, Sulastio menyampaikan bahwa selain informasi hoaks, fitnah dan ujaran kebencian juga semakin marak di ruang-ruang publik.
“Kondisi ini yang membuat kecurigaan dan perpecahan di tengah masyarakat kita. Namun Bawaslu selalu memantau aktivitas media sosial terkait konten atau berita yang berbau hoaks dan melanggar UU Kepemiluan yakni bermuatan SARA, radikal, dan Hoaks,” ujarnya.
Tokoh Nahdlatul Ulama, KH. Masdar Farid Mas’udi menyatakan bahwa rasa kebhinnekaan tidak boleh lekang atas dasar kepentingan elektoral semata dan sementara.
“Indonesia adalah negara paling multikuktural dan ini adalah sebuah keniscayaan. Kebhinnekaan adalah milik semua warga negara Indonesia yang harus dijaga,” tegasnya.
Beliau mengingatkan tentang bahayanya tindakan pelaku hoaks dan ujaran kebencian yang telah mencabik-cabik keutuhan bangsa.
“Para elit politik seharusnya mengedepankan persatuan dan kesatuan demi kekayaan keberagaman yang ada di Indonesia. Warga negara Indonesia juga harus lebih bijak dalam membaca konten-konten negatif yang saat ini semakin mudah didapatkan di media sosial,” tandasnya.
Pengamat Etika Komunikasi, Dodi Lapihu menjelaskan tentang perkembangan teknologi yang memiliki dua wajah yang saling bertentangan.
“Pada satu sisi teknologi mampu menciptakan perubahan ekonomi, sosial, politik, dan ketahanan bangsa. Di sisi lain, teknologi mampu memecah-belah bangsa akibat derasnya arus komunikasi yg bermuatan hoaks dan fitnah. Penyebaran hoaks melalui media sosial dapat menggiring opini publik sehingga mempolarisasi masyarakat dengan informasi palsu yang bersifat tendensius dengan sentimen terhadap SARA,” ujarnya.
Menurut Dodi yang merupakan dosen di Universitas Katolik Atma Jaya ini, apabila hal ini dibiarkan, maka Indonesia semakin dekat dengan era post-truth, dimana masyarakat tidak lagi percaya dengan fakta obkektif, melainkan hanya percaya dengan informasi yang sesuai dengan keyakinan atau seleranya saja.
“Menjelang pesta demokrasi, penyebaran hoaks akan semakin marak. Masyarakat harus benar-benar jeli membaca berbagai informasi di media sosial. Para elit politik dan tokoh masyarakat juga harus mengedepankan etika komunikasi, yakni menyampaikan informasi yang benar, bukannya fitnah ataupun bermuatan kebencian,” pungkasnya. (rr)