Belajar Dari Kasus Samuel Paty, Nasib Guru Yang Tragis

  • Whatsapp

Oleh: Asmu’i Syarkowi ( Hakim PA Lumajang)

“Serangan itu memiliki semua ciri serangn teroris Islam”, begitulah komentar Emmanuel Macron Presiden Perancis segera setelah kematian Samuel Paty, guru sejarah penampil karikatur Nabi Muhammad itu. “Para Islamis tidak akan pernah tidur nyenyak di Perancis. Ketakutan akan berpindah sisi,” kata Macron berikutnya setelah mengadakan pertemuan dengan para”penggawa” negara yang berkompeten.

Sebagaimana kita ketahui sang Guru Sejarah berusia 47 tahun telah tewas secara mengenaskan di tangan seorang bernama Abadullakh Anzorof. Pemuda imigran asal Cechen itu tega menghabisi setelah diketahui sang guru ketika mengajar menampilkan karikatur Nabi Muhammad di depan murid-muridnya di dalam ruang kelas. Kita tidak tahu selengkapnya, bagaimana suasana pembelajaran di kelas waktu itu. Kita juga tidak tahu bagaimana ekspresi sang guru ketika menampilkan gambar manusia mulia yang paling dihormati seluruh ummat Islam itu. Tetapi, sang guru sudah terlanjur tewas secara tragis di dekat College du Bois d’Aulne di kota Conflana-Sainte-Honirine sekitar 30 km barat laut pusat kota Paris. Berbagai pro dan kontra segera menyusul.

Bagi yang pro tentu mempunyai sejumlah alasan pembenar. Mengapa pemuda itu harus menghabisi nyawa sang guru. Penampilan kartun Nabi Muhammad merupakan sebuah penghinaan kelas berat. Muhammad, adalah manusia yang oleh ummat Islam diimani sebagai manusia tanpa cacat. Mengapa? Semua perkataan, perilaku, dan bahkan diamnya adalah merupakan representasi dari firman Allah. Meyakini hal itu merupakan menjadi salah satu syarat komulatif keimanan seseorang. Oleh karena itu, siapapun tidak boleh menghina simbol agama tertinggi itu.

Bagi yang kontra pasti akan menunjukkan simpati kepada yang guru. Dengan alasan kebebasan berekspresi siapapun tidak diperbolehkan melakukan pelarangan terhadap tindakan orang lain selama tidak menggannggu ketertiban umum. Apalagi, hal itu dilakukan dalam kelas dan dalam suasana pembelajaran siswa. Dalam kelas biasanya guru diperbolehkan berkata dan berbuat apa saja asal masih dalam konteks pendidikan, seperti menggambar, menulis, atau bercerita apa pun. Bagi orang Perancis tindakan Paty merupakan bagian dari pendidikan karena mengajarkan kebebasan berekspresi yang tidak dilarang oleh konstitusi setempat. Itulah sebabnya dia ‘dielu-elukan sebagai pahlawan dan kabarnya, sebagaimana dilansir Reuters Univensitas Sorbonnemengadakan upacara nasional menghormati Samuel Paty pada 20 Oktober 2020.

Terlepas dari pro dan kontra di atas tentu kita masih ingat sebuah pepatah yang pernah diajarkan guru bahasa kita dulu, yaitu “Di mana bumi berpijak langit dijunjung”. Peribahasa ini mengajarkan agar kita sadar sedang berada di mana. Adat istiadat setiap daerah berbeda. Apalagi, antar setiap negara. Dalam dunia moderen, perbedaan ini juga dalam bentuk aturan-aturan formal, seperti hukum. Tekadang sangat antagonis. Ironisme terjadi ketika pada saat yang sama hubungan antar manusia di dunia kini justru semakin cepat dan sering. Ketidaksiapan menerima perbedaan berpotensi menimbulkan konflik sosial tidak hanya bersekala regional dan nasional, tetapi juga internasional. Itulah sebabnya, ada “ajaran pluralisme”.

Pada intinya,konsep ini dimaksudkan tidak lain, agar setiap manusia tahu, bahwa perbedaan sebagai sebuah entitas harus diakui oleh setiap manusia di seluruh dunia. Bentuk kesadaran pengakuan, diwujudkan dengan sikap saling memahami sekaligus memberi toleransi. Para pemimpin dunia dengan dukungan para pemikir lintas agama bebagai negara di dunia telah lama memikirkan konsep ini. dengan maksud agar, di tengah berbagai keragaman suku ras, dan agama, siapun tidak boleh terjebak dengan pemahaman sempit (ekslusif). Intinya, mengedepankan persamaan daripada perbedaan.

Sebagai orang Islam patut bersyukur, bahwa dunia Barat sudah mulai menerima Islam. Kini, hampir semua negara Eropa sudah terdapat komunitas-komunitas muslim bisa ‘leluasa’ hidup bersama agam yang dianut. Harus diakui isu HAM, yang di Indonesia kadang-kadang menjadi selilit, tampakanya justru memberikan angin segar bagi kemulusan dakwah Islam di Barat. Bahkan, di beberapa Negara, seorang muslim, dengan ‘mekanisme’ setempat, juga sudah beroleh kesempatan bersaing dengan nonmuslim di dunia politik, sosial, dan ekonomi. Kita mungkin tidak akan mengenal Moazzam Tufail Malik menjadi Dubes Inggris di Indonesia dan Fady Qaddoura yang menjadi Senator Muslim di negara bagian Indiana, Amerika Serikat, kalau aturan main kenegaraan didasarkan kepada persoalan primordial. Kita mungkin juga tidak bisa menyaksikan Zidane, Pogba, Salah, dan pemain bola muslim lainnya, merumput di liga-liga besar Eropa. Ketika terjadi krisis kemanusian sebagai dampak peperangan,di negara-negara Arab yang notabeneNegara Islam, sebagaimana kita saksikan kaum muslimin justru mencari perlindugan ke Eropa yang oleh sebagian kelompok Islam dilabeli negara kafir.

Tetapi memang ada saja kelompok-kelompok eksklusif di setiap agama. Kelompok ini sepertinya tidak mau membedakan, mana ranah pergaulan dengan ranah pribadi atau kelompok. Dalam konteks ini, perkataan Macron yang menggeneralisasi pelaku sebagai representasi Islam memang sangat keliru. Tetapi kekeliruan ini perlu dimaklumi, apabila disebabkan karena ketidaktahuannya. Tampakanya dia perlu diajari bahwa di dunia Islam juga ada kelompok garis keras. Kelompok ini, bahkan muncul beberapa waktu setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Kehadirannya tidak hanya merepotkan non muslim tetapi juga pemerintahan sah Islam sendiri. Secara historis, catatan sejarah hitam kelompok ini dapat kita telusuri dalam buku-buku tarikh Islam.
Sang Guru itu ketika mau menunjukkan kartun Nabi Muhammad konon semua siswa yang mslim disuruhnya meninggalkan ruangan. Jika hal ini benar tampaknya guru itu memang “sudah profesional.” Dia sudah menyadari, bahwa tindakan itu akan kontroversial di mata siswa muslim. Tetapi dia tetap harus menunjukkan kartun tersebut karena 2 alasan, pertama karena memang tuntutan profesi, dan kedua karena di negaranya kebebasan eskpresi apapun dijamin konstitusi. Tindakan guru itu tentu mirip tindakan guru-guru agama kita yang kebetulan mengajar di sekolah negeri. Ketika di kelas ada murid nonmuslim (Kristen) biasanya dipersilahkan meninggalkan ruangan. Selanjutnya, guru bebas mengajarkan pelajaran agama, termasuk menerangkan arti dan maksud kandungan surat al ikhlas.

Dengan ilustrasi di atas kaitannya dengan fenomena demo anti Perancis ada baiknya kita kritisi. Menyampaikan pendapat di depan umum memang dijamin konstitusi. Tetapi berdemo tanpa mengerti akar masalah merupakan tindakan tidak hanya sia-sia tetapi juga dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Terlebih di saat pandemi, saat kita harus menerapkan protokol kesehatan secara disiplin. Anjuran boikot meboikot juga tidak dilarang. Akan tetapi perlu kita sadari, jangan-jangan produk yang kita boikot perusahaannya terdapat tenaga kerja muslim dan sebagiannya sedang berjuang mencari nafkah guna membiayai anaknya sekolah dan menghafal al Qur’an.

Akhirnya, kita pun berharap semoga demo yang terjadi dilakukan secara tulus sebagai reaksi atas ‘kejahilan’ presiden Perancis merespon tindakan teroris yang tidak hanya menjadi musuh dunia, tetapi juga Islam. Sebaliknya, tidak dilakukan secara massif dengan agenda-agenda terselubung. Agenda tersebut seperti dimaksudkan agar pemerintah melakukan konfrontasi bilateral dengan pemerintah Perancis yang ujungnya membebani pemerintah yang saat ini sudah mempunyai beban super berat agar bisa keluar dari kesulitan akibat pandemi ini. Maksud utamanya agar mereka bisa melihat dengan jelas, bahwa pemerintah telah mengalami kegagalan di berbagai bidang. Berikut, kemauan mereka bisa ditebak. Lebih khusus, harapan kita di masa depan kekerasan terhadap guru seperti di Perancis, tidak terjadi di Indonesia. Apalagi, hanya karena keseleo lidah, saat sedang menunaikan tugas pembelajaran di kelas. Semoga.
Refleksi akhir Oktober 2020

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait