Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH
MASA pandemi Corona Virus Disease (Covid)-19 atau penyakit virus Corona yang mewabah sejak tahun 2019, memengaruhi sistem pendidikan di seluruh dunia. Para murid, pelajar, siswa dan mahasiswa “terpaksa” mengikuti pelajaran melalui sistem jarakjauh. Menggunakan alat dan perangkat komunikasi online atau daring.
Sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini secara resmi dilaksanakan mulai tahun ajaran 2020-2021. Berlaku mulai sekolah Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Baik negeri maupun swasta yang dimulai sejak 13 Juli 2020.
Memasuki minggu ke tiga di akhir Juli 2020, belum ada sekolah yang melaksanakan sekolah tatap muka. Kecuali, di wilayah tertentu yang menyatakan daerahnya aman dan tidak ada yang terpapar Covid-19. Disebut juga kawasan zona hijau atau aman.
Siswa atau peserta didik (PD) mendapat pelajaran melalui perangkat komunikasi, layar komputer atau handphone (HP). Para pendidik (guru atau dosen) memberi pelajaran atau kuliah menghadapi kamera HP atau perangkat telekomunikasi lainnya. Sedangkan PD berada di rumah.
Berdasarkan pengamatan KPAI (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), bidang pendidikan, Retno Listyarti, menyebut sebanyak 79,9% siswa menyatakan tidak senang belajar dari rumah, karena guru tidak melakukan interaksi selama PJJ dan hanya memberikan tugas saja. “KPAI menyimpulkan bahwa PJJ pada fase pertama berjalan tidak efektif dan efisien.
Selama dua pekan pelaksanaan PJJ, ternyata sarat masalah teknis, jaringan dan ketidakmampuan keluarga peserta didik membeli kuota internet. Untuk itu KPAI mendorong pemerintah memperbaiki penerapan PJJ saat ini.
Berdasarkan survei KPAI, kendala paling dominan adalah kuota internet. Untuk itu KPAI meminta agar pemerintah, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), membebaskan biaya internet untuk PJJ tersebut.
Melihat padakenyataan itu, seyogyanya, anggaran pendidikan ditujukan untuk memenuhi pelayanan PJJ, sehingga disparitas akses digital dapat diatasi. Tak hanya kuota internet tapi juga peralatan daring dan kemampuan guru menggunakan platform pembelajaran, termasuk anggaran menyiapkan infrastruktur normal baru di bidang pendidikan.
Dari berbagai laporan dan informasi pelaksanaan PJJ di tanah air, maka Dinas Pendidikan, mulai tingkat provinsi hinga ke kabupaten dan kota, perlu memetakan sekolah-sekolah yang mampu melakukan pembelajaran daring dan tidak. Dengan begitu, mereka bisa membantu guru dan sekolah mempersiapkan modul untuk luring melalui pelatihan.
Kalangan perguruan tinggi juga angkat bicara. Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Budi Djatmiko, menyebut, yang paling sulit menjalankan PJJ atau kuliah daring adalah perguruan tinggi swasta (PTS). Sebab selama pandemi, banyak mahasiswa yang belum bisa membayar uang kuliah. Aptisi pun telah mengimbau PTS untuk tetap memberi hak kepada mahasiswa untuk tetap kuliah.
Untuk mengatasi permasalahan di masa pandemi Covid-19 ini pemerintah perlu memberikan bantuan berupa peralatan yang menunjang PJJ seperti server, komputer jinjing (laptop). Di samping itu juga biaya pembuatan software bahan ajar untuk dosen, terutama bagi PTS yang kurang mampu.
Saat berlangsung Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panja Pendidikan Jarak Jauh di Komisi X DPR, Jakarta, Selasa (14/7/2020), Aptisi mengungkapkan, tidak kurang 2.500 PTS dengan mahasiswa di bawah 1.000. Pada umumnya mereka itu anak dari keluarga kurang mampu yang perlu ditolong.
Pemerintah juga diminta menambahkan anggaran bagi PTS yang sekarang hanya kebagian 10% dari total anggaran PT. Caranya, meminta DPR mendorong CSR (Corporate Social Responsibility) dari BUMD (Badan Usaha Milik Negara), seperti yang selama ini diberikan kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Wakil Ketua Komisi X DPR, Agustina Wilujeng Pramestuti mengatakan, semuanya akan menjadi bahan pertimbangan Tim Panja PJJ sebagai bahan rekomendasi. Bahkan, Komisi X bersepakat mendorong Kemdikbud berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lain untuk melakukan langkah percepatan penyelesaian kendala PJJ.
Selain terkendala kuota internet, juga tidak sedikit peserta didik bersama orangtua PD, yang juga kesulitan mendapatkan akses jaringan. Tidak semua siswa dan keluarga bisa mendapatkan jaringan Wifi di daerah tempat tinggalnya.
Kendati saat ini, PJJ masih berlangsung di berbagai daerah di Indonesia, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim, menyatakan bahwa pihaknya tidak memiliki rencana untuk mempermanenkan PJJ. Sebab pembelajaran tatap muka adalah model pembelajaran terbaik yang tidak bisa digantikan.
Pembelajaran tatap muka akan semakin diperkuat dengan kombinasi pemanfaatan teknologi yang sudah diterapkan secara masif pada masa pandemi Covid-19. Untuk itulah, kita berharap pihak sekolah dapat mengoptimalkan elemen-elemen teknologi.
Nah, dengan demikian, kita bisa melaksanakannya seperti yang dipelajari di masa pandemi Covid-19 ini, demi menunjang proses pembelajaran tatap muka. (**)