JAKARTA, beritalima.com – Perlindungan pasien selalu menjadi isu yang menarik untuk dibahas dalam relasi pemberian layanan kesehatan antara pasien dengan tenaga medis. Meski kedudukan keduanya dalam berbagai teori selalu dianggap seimbang namun praktiknya sulit untuk menggangap pasien mempunyai kedudukan yang seimbang dengan tenaga medis. Hal ini disebabkan karena pasien tidak memiliki pengetahuan medis sehingga pasien cenderung bersikap pasrah pada tenaga medis
Demikian hal itu diungkapkan Anggota Komite III DPD RI, Stefanus BAN Liow, Senator asal Sulawesi Utara dalam sambutannya selaku Ketua Rombongan Rapat Kerja Komite III DPD RI dengan Pemerintah Kota Tomohon, Senin (05/2/2018) di Tomohon, Sulwesi Utara.
Begitu juga disampaikan Walikota Tomohon Jimmy Feidie Eman, SE., Ak saat membuka rapat kerja, mengapresiasi delegasi Komite III DPD RI karena telah memilih Tomohon sebagai daerah tujuan kunjungan kerja untuk mengali berbagai pandangan dan pendapat terkait materi RUU Perlindungan Pasien yang saat ini sedang diinisiasi oleh Komite III. Dalam pidatonya ia meyakini, bahwa Komite III akan banyak menerima masukan-masukan dari pemangku kepentingan yang hadir dalam rapat kerja tersebut.
Lebih jauh diungkapkan dr. Delis Julkarson Hehi, MAR Wakil Ketua Komite III DPD RI, yang dalam sambutan menyatakan bahwa saat ini masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen kesehatan. Sehingga seringkali mereka secara kritis mempertanyakan tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan yang akan diambil berkenaan dengan penyakitnya, bahkan tidak jarang mereka mencari pendapat kedua (second opinion).
Namun menurutnya hal itu merupakan hak yang selayaknya dihormati oleh pemberi pelayanan kesehatan. Pada saat yang bersamaan kewajiban memenuhi standar pelayanan rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan yang dilakukan melalui proses akreditasi secara berkala setiap 3 tahun sebagaimana perintah Permenkes No.12/2012, menjadi salah satu bukti jaminan perlindungan pasien yang diberikan oleh petugas medis.
Ditambahkan Hilda Tirajoh SH., Ketua Ombudsman Provinsi Sulawesi Utara mengamini seperti yang diungkapkan Delis. Selama tahun 2017 Ombudsman Sulawesi Utara menerima 10 pengaduan perihal buruknya layanan kesehatan yang mengarah pada minimnya perlindungan pasien. Pengaduan itu antara lain menyangkut mekanisme rujukan, pemberian perawatan dan pemberian obat.
Di tempat yang sama, pengamat kebijakan publik Universitas Samratulangi Dr. Maxi Egeten, M.Si menyatakan akreditasi rumah sakit tidak dapat dijadikan pembuktian bagi mutu layanan publik yang diberikan oleh rumah sakit. Sebab faktanya beberapa akreditasi dilakukan sebagai formalitas belaka. Saat ini demokrasi, non diskirminasi dan kualitas pelayanan publik menjadi unsur penentu layanan publik yang diberikan oleh badan-badan/lembaga pemberi layanan publik.
“Negara sudah memberikan perlindungan yang sangat baik bagi pasien. Terlihat dari diundangkannya Permenakes No.11/2017 tentang Keselamatan Pasien. Demikian juga dengan adanya Komnas Keselamatan pasien yang satu satunya saat ini hanya ada di tingkat pusat juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota,” imbuh dr. Nova Wulur Ketua IDI Tomohon.
Lebih lanjut ditambahkan Stefanus ketika ditanya wartawan, mendukung atas ide dan usulan Ketua IDI Tomohon dan mempelajari peraturan yang ada. dedy mulyadi