(Review Buku Denny JA, 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama, dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama, 2021)
Trisno S. Sutanto
MEMBACA buku Denny JA menimbulkan kenikmatan tersendiri. Tulisannya ringan, renyah, enak dibaca, terapi didukung oleh data yang sangat luas.
Seperti buku terbarunya ini, mengenai pergeseran makna agama akibat “11 Fakta Era Google” yang sedang berlangsung (Denny JA, 2021; halaman dalam kurung merujuk pada buku ini).
Lewat serangkaian tulisan yang renyah, Denny mengamati 11 “pergeseran kesadaran” yang diantar oleh revolusi digital Google (diringkas dalam bagian Pengantar buku itu).
Saya tidak akan masuk ke rincian 11 fakta yang sudah didaftar Denny, masing-masing lengkap dengan tautannya sehingga bisa dibaca sendiri. Bagi saya lebih memikat untuk dilihat, bagaimana berdasarkan fakta tersebut Denny menarik beberapa kesimpulan sebagai usulan “Denny JA’s Law on the Future of Religions” (h. 131).
Konon istilah ini diberikan oleh rekannya, tapi Denny agaknya setuju sembari tersenyum.
Dua Fakta Fundamental
NAMUN sebelum mengelaborasi lebih jauh, ada dua fakta fundamental yang digarisbawahi Denny. Keduanya menjadi semacam asumsi bagi refleksi Denny berikutnya.
Pertama, keberadaan homo sapiens, yakni makhluk cerdas seperti kita, paling tidak sudah berusia 300 ribu tahun. Sementara agama-agama dominan masa kini paling jauh berusia 3.000 tahun atau baru satu persen dari usia homo sapiens itu!
Artinya, 99 persen dalam usianya, homo sapiens “sudah hidup tanpa agama yang ada sekarang” (h. 18, cetak miring ditambahkan).
Kedua, dewasa kini ditengarai ada 4.300 agama yang berkembang, belum lagi puluhan ribu jenis kepercayaan yang hanya berkembang di wilayah-wilayah tertentu saja.
Maka Denny bertanya, apakah ada semacam irisan dari seluruh agama itu? Denny yakin ada, dan itu dinamainya “spiritual blue diamonds” yang terdiri atas prinsip the golden rule (“lakukan pada orang lain sebagaimana yang kau harap orang lain lakukan padamu”), the power of giving, dan akhirnya the oneness (h. 104 – 105).
Terlepas dari apakah Anda setuju atau tidak dengan kesimpulan Denny itu, jelas sekali kedua fakta fundamental tersebut memaksa kita untuk merenungkan bagaimana kita dapat menghadapi tantangan yang ada di depan mata kita?
Denny mengusulkan pergeseran pemahaman agama, yakni “dari kebenaran mutlak menuju kekayaan kultural milik bersama”. Usulan itu menarik ditelisik lebih jauh.
Menikmati Keragaman Sebagai Kekayaan Bersama
SATU hal perlu dicatat, kesadaran untuk menghormati “fakta keragaman agama” sebenarnya fenomena baru, dan kini makin dipertajam oleh revolusi digital Google.
Memang benar, fakta keragaman sudah ada sejak dulu kala, mungkin sejak “revolusi kognitif” yang memengaruhi dan mengubah sejarah homo sapiens, seperti dilukiskan Yuval Noah Harari dalam bukunya yang mahsyur (Harari, 2011).
Akan tetapi fakta keragaman ini lebih banyak dipandang dengan curiga, atau bahkan permusuhan: sang liyan adalah saingan, bahkan sering dianggap musuh yang perlu dimusnahkan.
Maka sejarah perjumpaan agama-agama sering dipenuhi oleh cerita tragis yang pernah disebut alm. Th. Sumartana sebagai “tragedi Ha-Na-Ca-Ra-Ka”, di mana para abdi bertemu dan bertempur sampai keduanya punah karena masing-masing mendaku membawa kebenaran mutlak versi sendiri (saya mengelaborasinya dalam Sutanto, 2020, h. 220 dstnya).
Karena itu, usulan Denny agar kita lebih baik menikmati keragaman agama sebagai “kekayan kultural milik bersama” (lihat bagian Epilog bukunya) jadi sangat gayut.
Fakta keragaman sekarang, yang makin dipertajam oleh revolusi digital yang sudah menyatukan seluruh umat manusia, memang menghendaki perubahan mendasar pada cara kita memperlakukan agama.
Alih-alih melihatnya sebagai “kebenaran mutlak” (dan berakhir tragis bak para abdi dalam tragedi “Ha-Na-Ca-Ra-Ka”), bukankah lebih baik menikmatinya sebagai “kekayaan kultural milik bersama” demi pemekaran kemanusiaan yang lebih kaya?
Usulan Denny terasa urgensinya kalau kita melihat perkembangan kiwari dua agama besar, yakni Kristen dan Islam. Data dari PEW Research Center memperlihatkan hal itu dengan jelas:
Jumlah dan proyeksi pertumbuhan kelompok-kelompok agama besar di dunia. Sumber: https://www.pewforum.org/2015/04/02/religious-projections-2010-2050/ diakses 9 Februari 2021. Bdk juga Sutanto, 2020, h. 221.
Sebab, jika kedua agama yang bersifat misionaris ini tidak mampu berdialog, maka akibatnya jelas: kepunahan global akan menanti!
Agar agenda “dialog peradaban” itu dapat tercapai, Denny menyebut dua kondisi penting.
Pertama, menetralkan ruang publik dari dominasi satu agama; dan, kedua, menjadikan intisari ajaran agama sebagai inspirasi (h. 127).
Soal pertama kini menjadi pusat debat dari apa yang sering disebut sebagai post-secular society, sementara soal kedua ditawarkan Denny lewat tiga prinsip Spiritual Blue Diamonds yang dirujuk di atas.
Dan sebagai seorang muslim, Denny menemukan 10 Mutiara dari ajaran universal Alquran yang mendasari penghayatan keagamaan pribadinya (Bab 14, h. 109 – 122).
Ia mengundang masing-masing tradisi keagamaan menyumbang petikan ayat-ayat suci yang dapat memperkaya ayat-ayat Quran yang dikutipnya (h. 122).
Hanya saja, usulan Denny bukanlah proses yang sudah pasti akan terjadi–walau ia meyakininya, sebagai akibat disrupsi era digital.
Kajian psikologi sosial evolusioner Jonathan Haidt memperlihatkan soal itu dengan baik (Haidt, 2020). Masing-masing kita, menurut Haidt, memiliki “sistem moral” yang menentukan bagaimana kita bersikap dan bertindak.
Dan sistem moral ini, yakni perangkat nilai, sikap luhur, norma, identitas, mekanisme psikologis, dan seterusnya merupakan “hasil evolusi yang bekerja sama menekan atau mengatur kepentingan pribadi dan memungkinkan adanya masyarakat-masyarakat kooperatif.” (Haidt, 2020, h. 373, cetak miring ditambahkan).
Nah, masalahnya, sistem moral tersebut ternyata diwariskan secara genetis! Misalnya, sikap politik yang di permukaan seakan merupakan pilihan bebas.
Menurut Haidt, “Apakah Anda berakhir di spektrum politik kanan atau kiri ternyata sama terwariskannya seperti kebanyakan sifat lain: genetika menjelaskan sekitar sepertiga dan separo variabilitas di antara orang-orang dalam segi sikap politik.” (Haidt, 2020, h. 384).
Sistem moral yang diwariskan itulah yang membentuk “matriks” di mana masing-masing kelompok bertumbuh.
Persis perbedaan dan perbenturan matriks moral tadi yang membuat persoalan mengapa banyak orang baik terpecah karena politik dan agama. Di akhir bukunya, Haidt mengingatkan bahwa
“akal kita dirancang untuk berbudi dalam kelompok. Kita adalah makhluk-makhluk yang intuitif secara mendalam, dengan firasat yang mendorong penalaran strategis kita. Itu menjadikan kita sulit–namun tidak mustahil–tersambung dengan orang-orang yang hidup dalam matriks lain, yang sering kali dibangun di atas konfigurasi landasan moral berbeda.” (Haidt, 2020, h. 438)
Saya kira itulah tantangannya, jika usulan Denny mau dilakukan: bagaimana membangun jembatan yang dapat menyambungkan kelompok-kelompok yang “hidup dalam matriks lain”.
Tanpa itu, maka keragaman agama yang makin dipertajam oleh revolusi digital Google sungguh akan menjadi bencana bagi umat manusia dan bumi ini!
Jakarta, 11 Februari 2021
Penulis adalah aktivis Paritas Institute, Jakarta
Rujukan
Denny JA, 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama Dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama (Jakarta: Cerah Budaya Indonesia, 2021)
Haidt, Jonathan, The Righteous Mind: Mengapa Orang-orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama (Jakarta: KPG, 2020)
Harari, Yuval Noah, Sapiens: A Brief History of Humankind (London: Harvill Secker, 2011)
Sutanto, Trisno S., Politik Kebinekaan: Esai-esai Terpilih (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan KN LWF, 2020)