SURABAYA, Beritalima.com |
Anggota Komisi B DPRD Jawa Timur Daniel Rohi mendesak pemerintah untuk kembali mengkaji dan menunda pemberlakuan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) rata-rata sebesar 12,5 persen di tahun depan. Hal ini penting dilakukan karena industri rokok adalah industri yang memberikan kontribusi besar terhadap negara.
“Sebagai wakil rakyat dari Provinsi Jatim yang menghasilkan tembakau terbanyak nomor satu di Indonesia dan penyumbang cukai rokok terbesar, yaitu sebesar Rp 91 triliun, kami mohon pemerintah pusat untuk menunda kenaikan cukai rokok. Memandang di tengah pandemi ini, para perusahaan rokok dan para petani dalam kesulitan,” pintah Daniel Rohi saat menghadiri acara Kadin Jatim Talk dengan tema “Dampak Kebijakan Cukai Rokok di Situasi pandemi dalam Perekonomian dan Sosial Masyarakat” yang digelar secara daring di Surabaya, kemarin.
Daniel menjelaskan jika kenaikan dipaksakan, maka akan timbul dampak negatif. Pertama bisa terjadi PHK, kedua penurunan produksi rokok, ketiga serapan tembakau petani tidak bisa diakomodir.
“Kami tidak anti kenaikan, tetapi kami minta ditunda hingga situasi normal. Ini demi keadilan,” tandas politisi PDIP ini.
Ia menegaskan bahwa selama masa pandemi, semua industri di tanah air mengalami keterpurukan, termasuk industri rokok. Dan pemerintah telah mengeluarkan banyak stimulus berupa relaksasi dan insentif bagi industri selain rokok agar bisa kembali bangkit dan mampu berproduksi. Sementara industri rokok justru justru ditekan dengan menaikkan tarif cukai.
“Ini justru yang ironis. Kami mohon pemerintah lebih sensitif pada industri yang terkait dengan pertembakauan,” sambungnya.
Selain itu, besaran kenaikan tarif cukai tersebut menurutnya juga belum layak dan terlalu tinggi. Harusnya pemerintah melakukan negosiasi dengan industri rokok dan melakukan pertimbangan yang realistis sehingga kebijakan yang diambil tidak sepihak.
“Kita cari angka tengah, yang bisa mengakomodir semua kepentingan. Prinsip proporsionalitas harus ditegakkan. Ibaratnya, industri rokok ini adalah industi yang dikutuk sekaligus dirindukan, mengecam tetapi duitnya mau. Ini sifat hipokrit yang harus dihilangkan,” lanjut Daniel.
Ia berpendapat, harusnya pemerintah mau membuka diri karena industri ini adalah industri yang berkontribusi besar terhadap negara dan bukan industri yang memberatkan. Sehingga industri ini harus didukung dan bukan ditekan hingga tidak berdaya. Karena penekanan tersebut akan merugikan rakyat dan negara.
“Saran saya kepada petani tembakau dan asosiasi perusahaan rokok untuk bersatu menaikkan bargaining, mencari win-win solution,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Bidang Industri Wajib Cukai Kadin Jatim Sulami Bahar menegaskan bahwa saat ini, kondisi industri rokok memang sangat terpuruk karena mendapatkan berkali-kali hantaman. Di tahun 2020, lanjutnya, kenaikan terjadi sangat tinggi, mencapai 23 persen untuk kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan 35 persen untuk kenaikan Harga Jual Eceran (HJE). Sehingga produksi menurun dan berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan rasionalisasi, berkurangnya penyerapan bahan baku tembakau dan cengkeh.
“Belum lagi bernapas, ada pandemi yang hingga saat ini belum terselesaikan. Belum lagi bernapas, ada kenaikan tarif cukai lagi. Artinya, dengan kejadian-kejadian seperti itu, kami khawatir, mau tidak mau industri akan lakukan efisiensi. mengurangi jam kerja dan tenaga kerja. Kami berharap itu tidak terjadi. Dan yang lebih bahaya lagi, nanti itu akan menyebabkan peredaran rokok ilegal semakin marak,” ujar Sulami.
Jika kenaikan tarif cukai sebesar 12,5 persen tersebut betul-betul dilaksanakan pada awal Februari 2021, Sulami memprediksi peredaran rokok ilegal akan mengalami kenaikan menjadi 6 persen. Padahal peredarannya di tahun 2017 hingga 2019 bisa ditekan. Pada tahun 2016, peredaran rokok ilegal mencapai 12,1 persen, di tahun 2017 turun menjadi 10,9 persen, tahun 2018 turun menjadi 7 persen, dan tahun 2019 bisa ditekan hingga 3 persen.
“Karena harga rokok semakin tidak terjangkau. Dan sebenarnya rokok mahal ini tidak akan berdampak pada pengurangan prevalensi perokok, tetapi yang ada mereka justru beralih mengonsumsi rokok lebih murah. Kalau beralihnya pada rokok golongan II dan golongan III masih bagus, tetapi kalau beralih ke rokok ilegal, itu akan berdampak pada pengurangan pendapatan negara,” tegasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan bahwa akibat tingginya kenaikan cukai di tahun 2020 mengakibatkan produksi turun 2,2 persen hingga 3,3 persen. Dan angka prevalensi perokok nasional menurun dari 29,3 persen menjadi 28,8 persen. Sementara angka prevalensi perokok remaja dan anak justru tetap naik dari 8,8 persen menjadi 9,1 persen.
“Ini artinya, tujuan pemerintah untuk menekan angka perokok anak dan remaja tidak tercapai dengan menaikkan harga jual rokok. Harusnya pengendalian konsumsi rokok dilakukan melalui pendekatan edukasi dan bukan dengan menaikkan CHT dan HJE,” pungkasnya. (yul)