JAKARTA, Beritalima.com– Kepala Staf Presiden (KSP), Jenderal Purnawirawan Moeldoko mengingatkan semua pihak agar tidak menjadi lalat-lalat politik yang mengganggu konsentrasi pemerintah menangani pandemi Covid-19.
Stigma negatif yang dikeluarkan Moeldoko itu, kata pengamat politik, Muhammad Jamiluddin Ritonga, tidak selayaknya keluar dari Moeldoko. Sebab, ada kesan pihak-pihak yang mengeritik kebijakan penanganan Covid-19 dinilai sebagai pengganggu.
Padahal kritik itu, lanjut Jamil, demikian dia akrab disapa, ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Selasa (13/7), bagian dari kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi dan hal tersebut dijamin konstitusi.
Karena itu, sangat naif bila para pengeritik Pemerintah diberi stigma lalat politik.
Penilaian semacam itu mengindikasikan Moeldoko tampaknya sosok yang memang belum siap hidup di negara demokrasi. Moeldoko tidak siap dengan berisiknya alam demokrasi akibat perbedaan pendapat diantara sesama anak bangsa.
Ketidaksiapan itu, kata bapak dua putra ini, semakin terlihat ketika Moeldoko menyatakan pemerintah tidak anti kritik, tapi kritiklah yang ada solusinya. Ungkapan seperti ini sangat lazim di negara otoriter, seperti yang sering ditemui di era Orba.
Harusnya yang duduk dalam Pemerintahan yang mencari solusi karena mereka digaji dari uang rakyat. “Kalau tidak mau di kritik, turun saja, dan jangan makan uang rakyat,” ketus Jamil.
Di era Orba, lanjut Jamil, pemerintah selalu mengatakan silahkan kritik tapi yang konstruktif. Kritik semacam ini sama saja kritik yang meminta solusi.
Padahal tidak ada aturan formal yang meminta kritik harus diiringi solusi. Setiap warga negara berhak menyampaikan kritik baik kepada eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun sesama warga negara.
Jadi, Moeldoko tampaknya belum siap hidup di negara demokrasi. “Bagi Moeldoko kritik itu seolah lalat yang mengganggu kekuasaan. Ini pola pikir picik dan seharusnya tidak lagi melekat bagi siapa saja yang hidup di negara demokrasi,” demikian Muhammad .
Jamiluddin Ritonga. (akhir)