Oleh: Saiful Huda Ems.
Sebelum saya menjelaskan lebih jauh tentang tema di atas, mohon kiranya para pembaca mengirimkan doa bagi alm. Pak BJ. Habibie yang wafat di hari ini, Rabu 11 September 2019 Jam 18.05 WIB diusia beliau yang ke 83, kita doakan semoga Pak BJ. Habibie wafat dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin…
Di usia senjanya ketika beliau hendak memasuki hari-hari terakhir dalam hidupnya, Pak Habibie menulis tentang penyesalannya di hari tua, dimana beliau merasa salah dalam memilih ilmu yang seharusnya lebih diprioritaskan, yakni Ilmu Agama, dan bukan ilmu yang selama ini beliau pelajari. Hal itu sangat beliau rasakan, bahwa di masa tuanya beliau merasa semua yang dipelajari dan dicapai semasa hidupnya, khususnya di masa muda seakan tiada gunanya. Jadi direktur, bisa membuat pesawat terbang dll.nya, ternyata seperti sia-sia karena di masa tuanya beliau merasa kesepian, dan mungkin pula merasa ilmu-ilmu yang dipelajarinya tidak begitu mendekatkan dirinya dengan Tuhan, hingga beliau berkata andai waktu bisa berputar kembali dan bisa memilih, beliau akan memilih Ilmu Agama untuk menjadi prioritas yang dipelajarinya.
Sebagian teman-teman menganggap apa yang dikatakan oleh Pak Habibie ini salah, karena kedekatan itu harusnya kedekatan jiwa, dan mempelajari ilmu tekhnologi, kedokteran dll.nya tidak kalah penting dari mempelajari ilmu agama. Bahkan menurutnya, mempelajari Ilmu Agama justru malah banyak menimbulkan berbagai persoalan saja. Lalu bagaimana saya menanggapi semua itu, mana pendapat yang benar, Pak Habibie ataukah teman-teman yang lainnya yang berpikiran berbeda?.
Pertama, menurut saya dikotomi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Ilmu Sosial dan Eksakta atau yang lain-lainnya) memang sepertinya agak membingungkan. Saya pernah menjelaskan soal ini sekian tahun yang lalu, karena dulu semasa saya hidup di Pesantren, karena adanya dikotomi Ilmu Agama dan Ilmu Umum ini kehidupan intelektual santri menjadi terlihat tidak dinamis. Banyak bangku sekolah-sekolah madrasah menjadi kosong saat ada mata pelajaran fisika, kimia, biologi dll.nya, sebab para santri sudah terdoktrin duluan oleh para seniornya, bahwa Ilmu Umum selain Ilmu Agama itu tidak berguna, dan tidak akan ditanyakan oleh Malaikat ketika kita mati.
Akibat dari “doktrin” yang salah kaprah itu semuanya menjadi fatal. Saat itu banyak santri yang terlihat tertinggal dalam penguasaan Ilmu Umumnya. Maka yang jadi pilot, yang jadi dokter, yang jadi tekhnolog, psykolog, antropolog dll. saat itu tak lagi dari kalangan alumnus Pesantren melainkan orang lain, dan alumnus Pesantren hanya bisa jadi penonton dan kunsumen atau pengguna jasanya saja. Itulah tragedi dunia keilmuan para santri sebelum akhirnya dikoreksi oleh para Cendekiawan Muslim yang tergabung di ICMI di awal tahun 90 an bersama kritikus briliannya yakni Gus Dur, hingga cakrawala berpikir kaum santri mulai mengalami peningkatan pesat, apalagi semenjak Gus Dur meraih kekuasaan no 1 di Republik Indonesia, kaum santri semakin bertambah kepercayaan dirinya, untuk mengejar berbagai ketertinggalannya.
Namun tentu saja, pemikiran yang muncul dari renungan panjang alm. BJ. Habibie tidaklah boleh kita pandang senaif itu dalam mendikotomikan Ilmu Umum dan Ilmu Agama. Pergulatan pemikiran panjang Pak Habibie dalam hidupnya, apalagi Pak Habibie pernah menahkodai organisasi Cendekiawan Muslim yang sangat besar, yakni ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dimana polemik dikotomi Ilmu Umum dan Ilmu Agama itu marak terjadi, Pak Habibie jelas sudah selesai, tamat dengan dialektika itu semua, bahwa Ilmu Umum dan Ilmu Agama hakikatnya sama saja, kedua-duanya sama-sama ilmu yang diturunkan oleh Tuhan yang pastinya semuanya bermanfaat untuk kehidupan umat manusia dan alam semesta. Bukankah ilmu sosial, ilmu eksakta dll. nya merupakan hasil pemikiran manusia, dan siapakah yang mengilhaminya jika bukan Tuhan?.
Kedua, nasehat alm. Pak Habibie jika saya boleh menafsirkannya, bahwa Pak Habibie itu bukan bermaksud mengarahkan kita agar kita selekasnya meninggalkan Ilmu Umum dan banting setir dengan mempelajari Ilmu Agama, sebab sebagaimana yang sudah saya jelaskan di atas, Pak Habibie sudah selesai dengan dikotomi kedua ilmu tsb. tidak ada yang perlu dipertentangkan. Pak Habibie sepertinya ingin mengingatkan agar kita dapat meningkatkan pemahaman kita akan agama dengan lebih serius mempelajarinya, hingga ilmu-ilmu lain yang kita pelajari tidak kosong, hampa tanpa dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan. Sangat berbahaya sekali jika kita menjadi advokat, jaksa, hakim, politikus, fisikawan, dokter, pengusaha dll.nya, namun jiwa kita kering dengan nilai-nilai ketuhanan atau spiritual, hingga kita tidak bisa menjadi manusia seutuhnya.
Ilmu itu tidaklah bebas dari nilai-nilai (values), sebab ilmu bukanlah untuk ilmu itu sendiri, melainkan untuk Tuhan, alam dan kemanusiaan. Seberapapun tingginya derajat keilmuan kita jika tidak kita imbangi dengan keimanan dan ketakwaan (spiritualitas), maka kita akan mudah terjatuh dalam kesesatan dan kehinaan. Maka jika kita siang dan malam sibuk berpikir untuk pekerjaan profesi kita, jangan pernah lupa kita beribadah yang sifatnya ritual (sholat, ngaji al-Qur’an dll.), mencari guru agama yang tepat, dan selalu berdialog dengan Tuhan melalui bacaan-bacaan keagamaan dan renungan-renungan spiritual yang mendekatkan jiwa kita dengan Tuhan. Itulah yang mungkin dimaksud oleh alm. BJ. Habibie, Cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia yang telah meninggalkan kita dengan segudang prestasi di sepanjang hidupnya. Husnul khatimah untukmu Pak BJ. Habibie…(SHE).
11 September 2019.
Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan Penulis, mantan pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) Orsat JERMAN.
Ket: Foto Saiful Huda Ems (SHE) bersama BJ. Habibie dalam pertemuan ICMI se Eropa, di Bonn Jerman Barat thn. 1994.