Berkaca Sidak Jokowi ke Apotek, Puskesra: Obat Penanganan Covid-19 Jangan Dimonopoli Perusahaan Farmasi Besar

  • Whatsapp

Jakarta – Pusat Studi Kebijakan Kesehatan dan Kesejahteraan Rakyat (Puskesra) meminta pemerintah mengawasi secara ketat produksi dan distribusi obat-obatan penanganan Covid-19. Pasalnya, potensi terjadinya monopoli harga serta kelangkaan amatlah besar seiring permintaan obat yang makin tinggi.

Pemerintah juga harus memastikan adanya distribusi yang merata terhadap produksi obat-obatan untuk pasien Covid-19. Yakni tidak saja melibatkan perusahaan-perusahaan farmasi besar, melainkan memberikan peranan kepada perusahaan farmasi skala menengah ke bawah. Sehingga produksi dan distribusi obat bisa makin masif serta roda ekonomi berputar.

Direktur Eksekutif Puskesra, Rafles Hasiholan menilai akibat tidak meratanya produksi dan distribusi obat-obatan penanganan Covid-19, rakyat kesulitan untuk mendapatkan obat di apotek-apotek kecil. Pernyataan ini disampaikan Rafles di Jakarta, Senin (9/8).

“Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan video Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melakukan sidak ke apotek kecil untuk mengecek persediaan obat-obatan untuk pasien Covid-19. Saat itu Presiden tidak menemukan satupun obat dan hanya ada beberapa multivitamin. Ini menjadi bukti nyata bahwa obat-obatan untuk pasien Covid-19 belum terdistribusi merata,” kata Rafles.

Presiden kemudian menanyakan kepada Menteri Kesehatan kenapa obat-obatan penanganan Covid-19 tidak ada di apotek-apotek kecil tersebut. Menteri Kesehatan memberitahukan kepada Presiden bahwa obat-obatan Covid-19 dapat ditemukan di apotek-apotek tertentu milik BUMN dan perusahaan farmasi besar.

“Situasi yang dialami langsung oleh Presiden Jokowi menunjukkan gambaran nyata distribusi obat-obatan penanganan Covid-19 yang belum merata dan sepertinya dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan besar saja. Padahal rakyat seharusnya dipermudah untuk dapat mengakses obat Covid-19,” tegas Rafles.

Berdasarkan informasi yang Puskesra dapatkan, beberapa obat yang diproduksi oleh perusahaan farmasi besar ini harganya dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) di pasaran. Selain itu terdapat juga obat yang disegel dan dilarang produksi oleh pihak BPOM.

“Kami mendapatkan informasi bahwa obat Ivermectin yang menjadi optional use dalam pengobatan Covid-19, saat ini peredarannya sudah sangat langka karena BPOM telah empat minggu menyegel dan melarang produksi obat tersebut dengan alasan adanya administrasi dan prosedur yang belum lengkap dari perusahaan terkait,” kata Rafles.

Puskesra mempertanyakan lamanya proses administrasi yang dilakukan oleh BPOM, padahal situasi saat ini, penyebaran Covid-19 masih tinggi dan masyarakat sangat membutuhkan berbagai jenis obat-obatan penanganan Covid-19, termasuk Ivermectin.

“Bagaimana masyarakat dapat sembuh dari Covid-19 jika peredaran obat-obatan hanya dimonopoli perusahaan farmasi besar, dan institusi pemerintah seperti BPOM justru menghambat produksi obat-obatan untuk pasien Covid-19 seperti Ivermectin karena hal-hal administrasi,” lanjutnya.

Puskesra meminta Pemerintah melalui Kemenkes, BPOM, dan institusi lainnya untuk memperkuat industri farmasi dan obat-obatan dalam negeri di masa pandemi Covid-19.

“Dengan kondisi Covid-19 yang masih tinggi, pemerintah seharusnya melibatkan swasta sebagai bentuk gotong-royong semua pihak untuk membantu negara dalam menangani Covid-19. Mustahil Covid-19 cepat reda kalau pemerintah hanya bergerak sendiri. Presiden Jokowi harus menyampaikan kepada jajaran kementerian dan lembaga untuk menindak tegas kelompok atau korporasi tertentu yang terindikasi melakukan monopoli obat-obatan terapi Covid-19,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad mengaku heran dengan tidak adanya obat-obatan terapi Covid-19 di salah satu apotek saat Presiden Jokowi sidak di Bogor, Jawa Barat.

Dasco menyampaikan, obat-obatan penanganan Covid-19 yang dicari oleh Presiden tersebut sebagian besar adalah produk BUMN Farmasi seperti Oseltamivir produksi Indofarma, Favipiravir, dan Azithromycin produksi Kimia Farma.

“Saya heran kenapa obat-obatan terapi Covid-19 itu saat ini seolah-olah hilang di pasaran. Padahal para direktur utama BUMN Farmasi dalam rapat bersama Komisi VI memastikan bahwa mereka telah memproduksi lebih dari jumlah kapasitas produksinya dalam memenuhi pasokan di pasaran selama pandemi ini,” kata Dasco yang juga merupakan Ketua Satgas Lawan COVID-19 DPR RI.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat dihubungi Presiden Jokowi (23/7) memastikan obat-obatan untuk Covid-19 masih tersedia di Kota Bogor, yakni terdapat di Rumah Sakit dan apotek-apotek besar.

“Saya barusan cek ya, Pak, misalnya untuk Favipiravir di Apotek Kimia Farma Tajur Baru ada 4.900, Apotek Kimia Farma Juanda 30 ada 4.300, apotek Kimia Farma Semplak Bogor ada 4.200. Itu ada data online yang ada di RS itu bisa dilihat by kota. Untuk apoteknya Kimia Farma, Century, Guardian, K24,” kata Budi.

Dorongan untuk distribusi dan penggunaan obat-obatan seperti Ivermectin untuk pasien Covid-19 juga datang dari cendekiawan sosial Franz Magnis Suseno.

Franz Magnis meminta pemerintah untuk segera mengizinkan pemakaian Ivermectin sebagai obat terapi pasien Covid-19 meskipun uji klinis dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum rampung.

Ia mengatakan, kondisi saat ini sedang darurat. Fasilitas kesehatan sudah kewalahan sehingga tidak ada waktu untuk menunda pemakaian obat tersebut.

“Tentu saja obat perlu diuji klinis sampai betul-betul bisa diberi penilaian tetapi kita tidak bisa menyuruh orang yang mau mati menunggu sampai uji klinis selesai. Memang belum tentu semua sembuh, tetapi tunggu dulu masih sebulan sampai testing selesai, biarin setiap hari 500 ribu orang mati yang sebenarnya bisa diselamatkan. Bagaimana itu? Argumen apa itu?” ucap Magnis seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Senin (26/7).

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memblokir pabrik pembuat obat Ivermectin milik PT Harsen Laboratories. BPOM menyatakan sedang memeriksa perusahaan itu atas dugaan pelanggaran produksi, hingga distribusi obat-obatan yang bisa membantu proses penyembuhan Covid-19 itu.

“Kami sudah melakukan pembinaan dan pengawasan pada pembuatan Ivermectin PT Harsen,” kata Kepala BPOM Penny Lukito, Jumat, 2 Juli 2021. PT Harsen adalah produsen Ivermectin dengan merek dagang Ivermax 12 mg.

Namun, sudah lebih dari satu bulan sejak penyegelan, PT Harsen Laboratories masih belum diizinkan untuk memproduksi Ivermectin. Akibatnya Ivermectin yang diproduksi oleh PT Harsen sudah langka bahkan tidak bisa ditemukan lagi di pasaran. Namun, saat ini BPOM mengizinkan Ivermectin produksi Indofarma dan Sanbe untuk beredar di masyarakat. Padahal keduanya juga belum melalui proses uji klinis.

“Saya mendapat informasi dari beberapa teman dan keluarga yang sudah sembuh dari Covid agar mencari obat Ivermectin produksi Harsen untuk adik saya yang positif (Covid-19). Sayangnya, obat ini sudah beberapa minggu tidak bisa ditemukan lagi di apotek-apotek. Semoga pemerintah bisa kembali mengizinkan produksi obat Ivermectin ini,” kata seorang warga yang sedang mencari obat Ivermectin.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait